CerPENA #2
Oleh
Heri Setiyawan
Terlihat
beberapa telapak alas kaki berbeda tertinggal ditanah, dan ia yakin bahwa
sekelompok orang telah membajak pohonya dengan amat kejam. Sontak ia berteriak
dengan nada keras penuh kemurkaan “Agh..!! Sungguh manusia-manusia rakus !”
Badar Batu adalah sebuah nama desa yang letaknya jauh
dari perbukitan. Namun meski demikian, tak sulit untuk mendapatkan air di desa
tersebut. Desa yang terbagi menjadi dua wilayah itu terpisahkan oleh sebuah aliran
sungai yang berasal dari perbukitan yang memang letaknya jauh, namun dapat
sampai melewati desa Badar Batu tersebut. Setiap hari masyarakat desa Badar
Batu memanfaatkan air dari sungai itu untuk memenuhi kebutuhan minum, mandi dan
cuci pakaian di sungai tersebut. Namun, baik sungai itu kering maupun tidak, jarang
ada pohon buah yang dapat tumbuh meskipun telah tiba musim berbuahnya.
Kebanyakan pohon buah yang ada hanya tumbuh tinggi dan tua sebagai batang kayu
saja bukan menghasilkan buah sebagaimana pohon buah seharusnya. Akan tetapi
anehnya, ada beberapa pohon buah yang
meski berbeda macamnya, namun dapat hidup dan berbuah dalam satu tempat. Pohon
tersebut adalah pohon kelengkeng, mangga, jambu dan rambutan milik seorang
Kakek yang hidup di ujung desa Badar Batu. Keempat pohon buah itu subur dan
menghasilkan buah yang besar-besar, bahkan pada musimnya pohon tersebut tidak
henti-hentinya berbuah sebelum semua warga yang ada di desa Badar Batu dapat
mencicipi buah tersebut . Konon, si kakek yang merupakan pemilik pohon tersebut
menanam keempat pohonnya dengan cara yang tidak biasa, namun ia enggan
memberitaukan kepada masyarakat yang ada prihal cara menanamnya. Karena ia
takut masyarakat tidak mempercayai perkataanya tentang cara menanam keempat
pohon itu. Si Kakek hanya mengatakan “Sudahlah, Saudara – saudara tak perlu
menanam susah payah, cukup ambil dan makan saja buah-buahan ini ketika saudara
ingin merasakan manisnya, toh rasa nikmatnya hanya cukup satu jengkal ditenggrokan
to. Gak perlu repot – repot nanam bila akhirnya gagal to”. Memang sudah menjadi
tradisi bagi sang kakek dan masyarakat sekitar rumahnya, ketika tiba masa
berbuahnya sang pohon, masyarakat berkumpul dan mengadakan makan buah bersama
di Pendopo dekat rumah si Kakek tersebut.
Si Kakek tua itu hidup bersama anaknya. Seorang Perempuan
yang bersuamikan seorang sodagar dari kota yang letaknya lumayan jauh dari desa
Badar Batu tersebut. Sejak anaknya menikah kakek tersebut hidup sendirian di
desa. Namun rumahnya tak pernah sepi, selalu ada saja tetangga yang datang
untuk sekedar mengajak kongkow dan guyonan tentang masalah hidup di rumah si
Kakek. Sang kakek bekerja sebagai seorang pedagang buah . Buah-buahan yang ia
jual tak lain hasil dari keempat pohonnya tersebut, ditambah beberapa tanaman
seperti singkong dan umbi-umbian yang ikut meramaikan toko buahnya itu.
Suatu ketika terdengar kabar tentang meninggalnya sang
kakek tersebut. Masyarakat desa Badar Batu pun menggalang duka, anaknya yang
hidup dikota, datang untuk menghantarkan sang ayah ke pemakamannya. Hari
berganti hari dan bulan pun menggiring detak detik waktu dalam setiap harinya
menuju bulan – bulan baru, sang anak yang sebelumnya tinggal bersama suaminya
di kota. Kini memutuskan untuk tinggal didesa meneruskan usaha si kakek yang
setelah diperhitungkan memiliki peluang keuntungan yang besar ketimbang gaji
pekerjaan suaminya di kota yang kadang tidak tentu dan tidak menjanjikan.
Awalnya kehidupan di desa Badar Batu berjalan seperti
biasa lagi setelah meninggalnya sang kakek. Namun setelah setengah tahun
berlalu, tradisi yang ada di Rumah tersebut mendadak lenyap. Musim buah tiba.
Seperti biasa, pohon buah yang ada di desa Badar Batu hanya menumbuhkan bunga
saja tanpa mau menghasilkan buah dari adanya bunga tersebut. Dan keempat pohon
yang ada di halaman rumah bekas tinggal kakek yang sekarang adalah milik anak
dan menantunya, menunjukan perbedaanya dengan pohon lain. kesuburan buahnya tampak
bergelantungan menghiasi rerimbunan daun hijau yang ada pada pohon – pohon
tersebut. Membuat tupai, si binatang
pelompat handal sepanjang sejarah itu pun mengecapkan lidah. Tak luput dengan
nafsu mencicipi manusia yang terkenal rakusnya.
Namun musim buah kali ini berbeda. Tradisi makan buah
yang biasa diadakan di Pendopo milik sang kakek setiap tiba musim buah itu pun
kini tak terlaksana, bahkan kebebasan para binatang yang berupaya mengambil
haknya dari rebutan manusia ketika mendengar adanya buah yang jatuh dari pohon
- pohon itu pun kini dihapuskan. Pasalnya buah yang biasanya terjun bebas dari
pohon menuju tanah kini di tangkap oleh sebuah jaring lebar yang dibentangkan
oleh pemilik barunya.
Seseorang lelaki paruh baya yang merupakan tetangga rumah
yang biasa datang untuk Ngangso
bersama sang kakek pun bertanya kepada pemuda yang merupakan suami dari anak
sang Kakek, “ Kenapa jaring itu dipasang?, biasanya Kakek membiarkan
mangga-mangganya itu jatuh sebagai sedekah kepada binatang tanah dan bahkan
memanen mangga itu untuk sebagianya dijadikan untuk menu pesta makan buah di
Pendopo ini bersama masyarakat, namun kenapa sekarang berbeda? ”. “ Wah Pak.
Mubadzir kalo mangganya dibiarkan jatuh ketanah dan membusuk di tanah, oh iya
kalo bapak mau mangganya silahkan itu dikeranjang ada. Bapak boleh mencicipi
barang satu atau dua buah. Mangga itu murah pak kalau beli sekilonya lima ribu
rupiah” kata sang pemuda.
Mendengar jawaban dari pemuda tersebut si lelaki paruh
baya itu terheran - heran, sambil menahan rasa panas yang menggelora dalam dadanya
ia berkata “kok harganya mahal, biasanyakan sekilo hanya tiga ribu?” “Semua
buah harganya sudah naik pak, apa lagi disini juga langka buahkan. Nah harganya
sedemikian, bila bapak mau ya silahkan memilih sendiri” jawab sang pemuda.
Lelaki itu pun lantas pergi begitu saja karena tak tahan mendengar perkataan
pemuda yang cenderung pelit dan harus serba duit.
Kejadian tersebut bukan hanya sekali saja terjadi.
Jawaban yang sama pun terus dikatakan oleh pemuda itu ketika ditanya oleh warga
lain yang berusaha memprotes tentang hilangnya kebiasaan pesta buah di Rumah
yang ditinggalkan sang kakek. Sang anak dari kakek tersebut hanya terdiam dan
tak bisa berkata apa – apa karena mengingat pesan yang disampaikan ayahnynya
tersebut yang terus ia pegang dari saat setelah menikah dengan suaminya. Memang
sebelum merestui hubungan pernikahan anaknya tersebut, sang Kakek pernah
berpesan “ Jagalah hubungan ikatan pernikahan kalian, jangan sampai kalian
telah memiliki anak dan kemudian berpisah karena kesulitan yang mungkin nanti
akan kalian hadapi dalam kehidupan berkeluarga. Jangan sampai sejarah ayah
terulang kembali, dan menjadi seperti ini, hidup dalam kesendirian. Hanya
bersama anak yang dicintai, dan kini telah mencintai pujaan hatinya sebagai
pendamping hidupnya, ha ha ha. Tapi jangan sampai melupakan ayah loh ya. Kamu
harus menuruti perintah imam mu ya Nak”.
Pesan itu yang kemudian ia pegang sebagai semangat
hidupnya dalam berkeluarga, namun pesan itu pula yang menjadi ancaman baginya.
Karena ia takut ketika membantah suaminya maka akan terjadi pertengkaran
sehingga mereka berpisah karena sesuatu masalah kecil yang dibesar – besarkan
seperti halnya masalah tradisi pesta buah itu.
Hal demikian terus saja terjadi sampai pada titik
mengerikan dalam keluarga tersebut.
Sampai musim buah habis
pun, buah yang ada pada keempat pohon itu seperti tak henti-hentinya muncul.
Kejadian ini seperti yang penah di alami kakek semasa hidupnya, yang kemudian
pada saat itu mengundang seluruh masyarakat desa Badar Batu untuk memakan buah
tersebut, baru kemudian pohonya berhenti berbuah setelah musim buah habis.
Buah - buah yang semakin banyak membuat anak sang kakek
dan suaminya senang sekali karena mendapat penghasilan yang banyak. Bahkan
buah-buahnya itu dikirim ke Kota untuk dipasarkan dengan harga yang lebih mahal
lagi.
Pada suatu pagi sang pemuda bangun lebih awal dari
biasanya, ia siap memanen buah – buahan dari keempat pohon di halaman rumahnya
itu bersama istrinya untuk dikirim ke kota. Ia sengaja ingin memetik langsung
dari pohon agar mendapat buah yang segar dan untuk mendapat harga yang lebih
tinggi daripada buah yang masak karena disimpan dengan karbit. Namun setelah
sampainya di halaman rumah ia melihat jaring yang ia pasang untuk menangkap
buah-buahan yang jatuh dari pohonnya itu rusak seperti digigit oleh tikus atau
semacamnya. Dan banyak sekali buah yang jatuh ketanah dan dilihatnya seperti
bekas gigitan manusia. Daun-daun yang rontok serta ranting-ranting yang patah
menandakan buah-buahanya semalam dicuri oleh orang. Dari sekian banyak mangga yang jatuh ia melihat seekor
tupai sedang asik menggrogoti sarapanya. Sang pemuda itu bergegas masuk kedalam
rumah dan mengambil semacam senapan angin kemudian mengarhkan timah panah yang
ada dalam senapan tersebut menembus perut sang tupai. Hari yang seharusnya
menyenangkan bagi sang pemuda kini menjadi hari yang paling buruk bagnya.
Akhirnya beberapa hari kemudian sang pemuda menyuruh pekerja untuk membuat
pagar dari bambu untuk mengelilingi keempat pohon dihalaman rumahnya itu
sekaligus memberi jaring besar untuk menutupi jalur para tupai untuk masuk
kepohon tersebut. Rapat sekali. Kini pohon itu bagai seorang wanita lengkap
dengan pakaian burka-nya tak boleh disentuk sedikitpun kecuali yang telah halal
untuknya. Pemilik atau pembelinya.
Satu bulan berlalu, sang pemuda bahagia dengan kondisi
pohon penghasil uangnya, sampai ia berhasil membeli motor pengangkut buah dari
kerja kerasnya itu. Namun beberapa minggu kemudian keanehan terjadi, keempat
pohon yang hampir tujuh bulan lamanya berbuah tak henti-henti akhirnya mulai
mengering daunya. Buah dari pohon mangga, jambu rambutan dan kelengkeng itu pun
tak lagi semanis dahulunya. Pembeli pun mulai kecewa akan buah milik sang
pemuda. Kemudian pohon itu terus berbuah dengan buah yang berasa asam dan
banyak ulatnya. Pemuda itu berfikir mungkin karena pagar dan jaringnya terlalu
rapat sehingg sinar ultraviolet tidak bisa diterima si pohon, sehingga pemuda
tersebut menyuruh pekerja untuk membongkar pagar dan jaringnya. Namun pohon
malah semakin parah kondisinya. Dahan-dahan mulai patah dan kering sedang daun
– daunya mulai rontok berjatuhan lebih banyak lagi. Si pemuda dan istrinya
bingung bagaimana mengembalikan kondisi pohon itu supaya subur kembali.
Suatu Ketika Sang pemuda tersebut menjadi marah ketika
melihat tupai yang berkeliaran di pohonya, ia selalu menembaki tupai-tupai yang
berusaha memakan buah dari keempat pohon buahnya yang asam dan berulat itu. Tak
kurang lima ekor tupai mati setiap harinya. Sampai seminggu kemudian hal
mengejutkan terjadi, semua buah yang ada dipohonya berjatuhan dan tak tersisa. Didatangilah
salah satunya, yakni pohon mangga. Terlihat beberapa telapak alas kaki berbeda
tertinggal ditanah, dan ia yakin bahwa sekelompok orang telah membajak pohonya
dengan amat kejam. Sontak ia berteriak dengan nada keras penuh kemurkaan
“Agh..!! Sungguh manusia-manusia rakus !”
Buuk !!
Sebuah mangga berukuran lumayan besar jatuh mengenai
pundak sebelah kananya, pemuda itu mengaduh kesakitan, dipandangnya kearah atas
dari pohon itu. Terlihat seekor tupai melompat sekuat tenaga menghindari
bidikan senapan angin yang beberapa menit lagi akan menerkam tubuhnya dengan
timah panas yang dimuntahkan dari senapan itu.
Karena sangking sakitnya pundak sang pemuda tersebut ia
tak kuasa untuk membalas perbuatan si tupai, lalu ia berusaha mencari mangga
yang beberapa saat lalu meninju KO pundaknya itu. Dilihatnya, mangga tersebut
terobek setengah bagian oleh si tupai . Karena masih dalam kondisi marah dan
kesal, spontan saja ia gigit mangga bekas gigitan si tupai itu dengan membabi
buta terbawa rasa marahnya. Sambil tiap mengunyah, sambil lidahnya menelusuri
barang kali ada ulat ataupun rasa asam yang ada pada mangga bekas si tupai
tersebut. Namun ternyata mangga pilihan sang tupai adalah mangga yang mulus dan
tiada ulatnya. Tersadar, kemudian Ia menggigit sedikit demi sedikit mangga
terakhir dari pohonya itu dan ia menemukan rasa manis didalam setiap gigitanya.
Sambil menikmati rasa manis mangga yang telah lama tidak ia rasakan itu sambil
terenungkan dalam pikiranya “Pintar sekali tupai itu memilih mangga ini, dari
mana ia tau bahwa mangga pilihanya adalah mangga yang mulus dan manis, dan
anehnya dia tak menghabiskan mangga ini. Apakah dia memang sengaja menyisakanya
untuk ku agar aku juga bisa merasakan manis yang ia rasa ya?” .
“Hi hi hi”
Dari kejauhan terdengar
suara seseorang yang seperti menahan dirinya mengeluarkan suara tawa yang
terbahak. Pemuda tersebut kemudian berdiri dan matanya menelusuri setiap yang
ada di sekitarnya.
“ha ha ha ha”
Suara itu bertambah keras
dan seperti mengejek sang pemuda. Kemudian pemuda tersebut menoleh kebelakang
dan dilihatnya dua bocah turun dari pohon jambu miliknya dan alah satunya
berkata “ ha ha ha, pak – pak wong tupai saja serba bersyukur kok sampean
tidak, tupai saja kalau makan mangga masih meninggalkan sisa untuk pemiliknya
karna bersyukur diperbolehkan makan mangga yang ditanam oleh manusia, lah
manusia kok tidak bersyukur sama yang menghidupkan mangganya “ setelah
mengatakan hal tersebut kedua bocah itu lari sekencang-kencangnya karna takut
dimarahi oleh si pemuda. Namun sang pemuda malah terdiam dan tak mengeluarkan
sepatah kata pun. Dalam diamnya ia teringat tentang umpatanya yang beberapa
menit lalu ia teriakkan “Agh..!! Sungguh manusia-manusia rakus !” tak sadar air
matanya telah mengalir menetes ke tangan
yang sedang belumuran sari buah mangga yang manis pilihan sang tupai yang
keluarganya telah dibunuh olehnya.
Seminggu kemudian salah satu pohon milik pemuda kering
dan hanya berdiri tanpa daun hijaunya apalagi buahnya. sang pemuda tersebut
berkeputusan untuk menebang pohon tersebut, Ia adalah pohon kelengkeng. Pohon
tersebut di potong dan dirobohkan dengan disaksikan pemuda dan istrinya
tersebut. Ketika pohon dirobohkan terlihat sebuah benda terlempar keras dan
lurus masuk ke pintu rumah keluarga tersebut yang terbuka lebar.
Taarr..!!
Sebuah kendi kecil berwarna coklat berbalut lumut hijau tua yang berasal dari pohon kelengkeng tersebut hancur berkeping keping setelah menyetuh lantai rumah. Sontak membuat kaget pemuda dan istrinya, mereka berdua kemudian masuk kedalam rumah melihat apa yang terjadi. Dari ribuan keping pecahan kendi tua itu terlihat selembar kain bertuliskan arab lengkap dengan artinya yang bertuliskan “Perumpamaan (derma) orang-orang yang membelanjakan hartanya pada jalan Allah, ialah sama seperti sebiji benih yang tumbuh menerbitkan tujuh tangkai; tiap-tiap tangkai itu pula mengandungi seratus biji. Dan (ingatlah), Allah akan melipatgandakan pahala bagi sesiapa yang dikehendakiNya, dan Allah Maha Luas (rahmat) kurniaNya, lagi Meliputi ilmu pengetahuanNya” terlihat dibawah kalimat pada kain itu bertuliskan “Qs.Al-Baqarah, Ayat 261”. Kemudian dibaliklah kain tersebut oleh pemuda dan terlihat ada kalimat semacam sebuah kalimat tanya yang ditulis sang kakek untuk dirinya sendiri. Tulisan itu berbunyi “sudah bertahun-tahun lamanya tanah di desa ini tidak pernah menghasilkan buah dari pepepohonan, ketika aku tanam pohon ini dengan rasa ikhlas untuk mengharap kemudahan rizki dan untuk memberikan kemudahan bagi ku untuk bersedekah. Dapatkah nanti aku ikhlas dan bersyukur atas buah yang tumbuh dari pohon yang aku tanam saat ini, sehingga rela ku berikan sari tanah ini untuk para binatang atau pun sesama ku disini?”.
Air mata mengalir deras dari kedua
orang yang hidup dalam satu keuarga tersebut.
Tak
terbendung tangisnya setelah membaca surat yang bagaikan pesan yang menegur dan
mengoreksi prilaku mereka selama ini atas nikmat yang diberikan oleh tuhan
kepadanya.
Rasa
syukur yang tak pernah mereka lakukan dan rasa serakah yang ada dalam hati
mengusai diri mereka sehingga melupakan bahwa ada orang lain yang juga memiliki
hak atas nikmat yang telah diberikan oleh Allah untuknya.
Sejak saat itu mereka mulai merubah
dikap mereka terhadap masyarakat dan terus berusaha memperbaiki diri mereka.
Pohon baru mulai di tanam namun sayangnya semua berbeda dan tak dapat menjadi
pohon seperti yang pernah tumbuh berbuah dan penuh keistimewaan di desa Badar
Batu tersebut.
Yogyakarta
Sabtu,
28 November 2015
Baca juga :
Artikel Terkait
0 komentar:
Post a Comment
Ayo berpendapat , kasih kritik dan sarannya dong?!