IKLAN ADSENSE IKLAN ADSENSE IN FEED IBUKU, AYAHKU JUGA | Poedjakoesoema ADSENSE ARTICHLE

HOS


IBUKU, AYAHKU JUGA

MALAIKAT ITU BERNAMA IBU



Tiga huruf, dua suku kata, yang mengajarkan satu cinta yang sangat dalam kepada anaknya. IBU.

“ Awas le jangan mainan pintu nanti….”

Hua.. Hua.. ibu..sakit..ibu..

“Belum selesai ibu bilang, ya Allah malah kejepit beneran.. ya Allah.. hendy..hendy cepat ambilkan minyak angin dan kain perban..”

Entah kekuatan macam apa yang bisa menyatukan hati ibu dengan hati anak-anaknya, Aku merasa seakan ibu memiliki indra keenam yang dapat mengetahui apa yang akan terjadi kepada anaknya. Bukan hanya sekali dua kali, ketika ibu mengingatkan kepada anaknya yang sedang bermain hal-hal yang dikiranya berbahaya, belum sempat selesai perkataan peringatan itu, selalu saja hal yang dikhawatirkan ibu benar terjadi. Bukan hanya kepada adikku, melainkan dulu ketika aku masih kecil pun hal yang sama juga pernah terjadi padaku.

Aku jadi ingat bahwa perkataan ibu adalah Keramat yang ampuh didunia sebagaimana kata bang Rhoma Irama salah satu penyanyi favorit ayahku itu. Menurutku ibuku adalah orang yang paling kuat di dunia, kami adalah keluarga yang terdiri dari lima orang yakni ayah, ibu, dua adik ku laki dan perempuan dan aku yang sekarang ini berkuliah di Surabaya. Kami adalah keluarga petani udang dan bandeng yang memiliki lahan pertambakan yang amat jauh dirumah kami di Lampung. Untuk menuju lokasi pertambakan ayah membutuhkan waktu 12 jam untuk sampai kesana, tempat diperbatasan antara Palembang dan Lampung. Dan kalau sudah seperti itu ayah akan pulang setelah tiga atau enam bulan disana atau selama kurang lebih dua kali panen. Dan selanjutnya hanya akan berada dirumah sekitar dua atau empat minggu saja di rumah, dan sudah berjalan kurang lebih 22 tahun lamanya. Wanita mana yang sanggup ditinggal kekasihnya selama itu dan tidak ada komunikasi yang cukup untuk mereka berhubungan. Dahulu sebelum handphone begitu popular, atau listrik dan signal bisa masuk ke desa kami, ayah hanya bisa mengirim sepucuk surat dan uang untuk menenangkan hati ibu yang resak merindukan kekasihnya itu. Beruntung hari ini sudah tak sesulit itu untuk mengirim pesan, meskipun signal yang masuk kepelosok pertambakan seperti tempat ayah tinggal selama merantau itu masih juga sangat sulit, akan tetapi mereka masih bisa terus berkomunikasi barang sejam atau dua jam dalam satu hari, terganntung pada lama signal yang bisa ditemukan dan dijaring oleh handphone milik ayah.

Selama ayah pergi, ibulah yang mengurus kami sendirian dirumah dengan kesabarannya dan kasih sayangnya. Senakal apapun kami, bahkan pernah suatu ketika ibu menangisiku dan kebingungan mencari keberadaanku keberbagai tempat sampai membuat semua keluarga panik teramat sangat, ketika aku yang begitu nakal ini mengikuti komunitas Punk dan keluar rumah selama seminggu tanpa pamit semasa remaja. Hal itu kulakukan karena marah dengan sikap ibu yang tak membolehkan ku bermain dimalam hari padahal aku sudah merasa dewasa dan bagiku tak ada salahnya berkumpul bersama teman-teman didesa untuk keluyuran dimalam hari.

Ketika pulang kerumah, kakek dan paman ku berusaha untuk menghajarku karena telah membuat panik keluarga besar. Justru Ibu-lah yang membela ku agar mereka mengurungkan niatnya, dan Ibu tak pernah mengatakannya kepada ayah tentang kejadian ini, karena pastinya ayah akan lebih geram lagi dengan diriku karena sikap ayah yang keras dan tegas, dengan prinsip “tak ada yang boleh menghajar anak ku kecuali aku sendiri” dan itu akan berakibat fatal nantinya bila terjadi padaku. Akan tetapi saat itu ibu berkata kepada paman dan kakek ditengah kerumunan banyak orang “hendy tidak salah, ia hanya tak mengerti apa yang seharusnya ia lakukan saat remaja, ia hanya ingin berteman dengan teman sebayanya dan aku terlalu melarangnya, Ia hanya butuh ayahnya setiap saat dan hal itu tidak ia dapatkan sekarang ini sementara keluarga kami masih sangat kesulitan dalam hal ekonomi. jadi biarkan aku yang memukul diriku sendiri untuknya, karena tidak bisa menghadirkan kasih saying ayahnya dirumah”.

Baru saat itu aku sadar, bahwa kenakalanku selama ini karena pelampiasanku pada ayahku yang jarang dirumah yang seharusnya dapat mengajariku banyak hal dan mau mengjakku bermain bersama, selayakya ayah dari teman-teman ku didesa yang selalu ada untuk mengajarkan mereka membuat layang-layang, bermain kelereng, membuat mobil-mobilan, mengajak mereka memancing dan sebagainya. Dan itu tak pernah aku dapatkan dirumah sehingga aku malas sekali tinggal dirumah dan lebih memilih sering bermain diluar bahkan malam hari sekalipun.

Hari ini aku sadar melihat kejadian didesaku, banyak teman geng ku yang dulu sering mengajakku bermain dan nye-treet atau melakukan aksi punkers seperti menonton festival di Jakarta dan di tempat-tempat yang notabene-nya jauh dari rumah semasa remaja itu, kini justru banyak yang terlibat perkelahian, mabuk-mabukan, narkoba, bahkan dinikahkan secara terpaksa sebelum memiliki modal psikis atau pendidikan dan modal ekonomi yang cukup akibat perbuatan free sex. Hal ini membuat mereka harus berkerja keras menghidupi keluarga mereka. Aku merasa beruntung hari ini masih bisa menikmati hidupku sebagai seorang pencari ilmu di kota pendidikan ini, mengenyam pendidikan di bangku perkuliahan yang mana tak dirasakan oleh pemuda-pemuda kebanyakan di desaku. Hari ini aku renungkan tenyata, saat itu ibu begitu berjuang untuk menjadi ibu yang mampu mengurus anaknya dengan memasak, mencuci, memandikan anaknya juga mampu mendidik, mengajarkan, dan menuntun anaknya agar tidak masuk kepada pergaulan yang salah dan agar memiliki modal keilmuan yang cukup selain itu dapat menjadi teman curhat bagi anaknya tentang kehidupan anak tersebut. Dan disisi lain ibu berusaha menjadi Ayah, yang mampu menjaga kami.

Hari ini aku menyadari bahwa malaikat bukan hanya ada dilangit, akan tetapi ia sudah turun kebumi menjelma jadi seorang wanita cantik dan kuat yang mampu menjadi Ayah sekaligus ibu yang hari ini ku panggil UMI AMINAH.

“Yah.. ibu kemana? Kok gak pulang-pulang”

Kata adek ku yang berumur 3 tahun itu.

“Ibu sedang pergi ke Surabaya menyusul kakak”

Jawab ayah dengan suara yang tertahan didada menahan isak tangis.

“Ibu pasti pulang kerumah kan yah?”

Ayah hanya terdiam dan memalingkan wajahnya mengusap tetesan air mata dari hadapan adik ku.

Aku yang mendengar perbincangan mereka saat ayah sedang menelponku, hanya bisa menjauhan telpon dari hadapanku agar suara tangisanku dan air mata ini tidak dapat didengar oleh adikku yang telah dibohongi ayahnya ketika menjawab pertanyaan sederhana itu.

Aku tak menyangka malaikat itu kini telah pulang ke taman Tuhan sebelum aku bisa membahagiakannya, dan kini justu aku kehilangan kesempatan untuk meminta maaf dan membuatnya tersenyum semasa hidup.

Advertisement

0 komentar:

Post a Comment

Ayo berpendapat , kasih kritik dan sarannya dong?!

 
Top