IKLAN ADSENSE IKLAN ADSENSE IN FEED RESUME JURNAL "AGAMA, KEKERASAN DAN JIHAD (PERANG SUCI)” | Poedjakoesoema ADSENSE ARTICHLE

HOS

RESUME JURNAL HANS KUNG
“AGAMA, KEKERASAN DAN JIHAD (PERANG SUCI)”
Oleh: Heri Setiyawan (14540033)

JUDUL ASLI ARTIKEL: RELIGION, VIOLANCE AND HOLY WARS
PENULIS                         :  HANS KUNG (1928) Baca Profilnya disini!
REVIEWER                    :  HERI SETIYAWAN (1996)

Gambar terkait
Sumber gambar: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEizZedHANJ2Epvzzym6GDOxezCQ-XoKD4asAEZQY2cJp0ji5ER5ty-dm6YY4wn29SANuoekA-NcroFTujhfkRWO4znW0uhQkdnC40bfCnLDD6s6Ctypc7DXoX1pe_krZ7qp-4ky-eeX27c/s1600/Bunge_mate.jpg
Tulisan ini berfokus pada analisis dampak agama dalam konflik saat ini di seluruh wilayah dunia. Yang utamanya terletak pada konsep "perang suci" tiga agama monoteistik, yaitu Yudaisme, Kekristenan dan Islam. Berangkat dari analisis di tiga agama tersebut. Apakah agama monoteistik pada dasarnya memerintahkan untuk melakukan kekerasan?

Agama Kristen, Yahudi dan Islam yang merupakan agama monotheis (mempercayai adanya Tuhan yang tunggal) bagi Kung memiliki sikap intoleransi yang tinggi. Khatolik misalnya, selalu memaksakan moral dan nilai-nilai kehidupan menggunakan doktrin gereja sehingga, masyarakat yang anti-kristus atau yang berbeda dengan pandangan khatolik akan diperangi dan ditindak melalui kekerasan. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada saat perang salip yang mengatasnamakan Tritunggal yang Mahakudus untuk melakukan perang.
Perang suci Yahweh
Tahap perkembangan budaya baru tercapai ketika standar etika sudah ada ditemukan, misalnya, dalam Kitab Hammurabi yang berasal dari Babel Kuno dari abad 16/17 SM, ditempatkan di bawah wewenang satu tuhan dan diucapkan hukum Tuhan, seperti dalam Dekalog (Yunani deka logoi, "sepuluh kata") atau Sepuluh Perintah. Sebagian besar sarjana Perjanjian Lama setuju bahwa politeisme masih tersebar luas di Israel pada zaman Kerajaan. Pada awalnya hanya ada monolatry: dari jumlah besar tuhan yang ada, di Israel hanya Yahweh yang disembah sebagai satu-satunya Tuhan, meski keberadaannya Dewa-dewa lain oleh orang lain tidak diingkari. Tauhid ketat, yang sama sekali menyangkal keberadaan allah lain, telah ada hanya sejak Pengasingan orang Babilonia, dalam bab selanjutnya dari Ulangan dan Yesaya (Deutero-Yesaya), yaitu di masa teokrasi, ketika semua penganut Judaisme ditulis dari awal sampai akhir di semangat monoteisme yang ketat.
Bahkan terlihat pada abad ke-10 "peperangan Yahweh" modern (Sharon) dengan korban jiwa manusia yang tak terhitung jumlahnya dan menghancurkan banyak warisan budaya mengakibatkan kerusakan terhadap lingkungan yang sama sekali tidak bertanggung jawab.

Didalam agama monotheisme kebutuhan dan peraturan yang mengatur Perilaku manusia harus dipaksakan. peperangan sudah layaknya suatu kebudayaan yang harus dilakukan oleh pemeluk agama untuk menunjukkan jasa umat agama tersebut bagi sejarah agamanya di kemudian hari dalam menegakkan tatanan norma ilahiah. Walaupun pada lain waktu istilah Perang "Kudus" dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk membangun agresi militer dengan mengklaim tujuan misionaris pada perintah keilahian yang diberikan. Seperti misalnya yang terjadi pada beberapa abad belakangan ini, yakni: banyaknya kematian suku Indian dan Aborigin di Latin dan Amerika Utara dan Australia oleh penjajah berkulit putih, pembunuhan puluhan ribu Hereros di Namibia oleh kuasa colonial jerman, penembakan sejumlah besar pemrotes di India oleh Tentara Inggris, pembunuhan ratusan warga sipil di Lebanon atau Palestina oleh tentara Israel, atau pembunuhan ratusan ribu orang Armenia oleh Pasukan Turki dan lain sebagainya
Hans Kung juga mengutip penelitian oleh Rene Girard yang menyatakan bahwa kitab-kitab agama menjadi pendukung tindakan kekerasan. Perang Yahweh yang diceritakan dalam kaitannya dengan pemukiman Israel dan Yudea dan mungkin merupakan infiltrasi yang lamban atau restrukturisasi internal Palestina melalui penaklukan militer. Kesaksian terhdap penghancuran seluruh penduduk kota sebagai korban persembahan kepada Tuhan ditemukan dalam epigraf seorang raja bernama Moab dari abad kesembilan SM, meskipun kisah ini tidak di temukan dalam kitab perjanjian lama. Dalam tindakan pengorbanan semacam itu menunjukkan bahwa monotheisme lebih besar memiliki potensi kekerasan ketimbang polytheisme. Dalam Alkitab Ibrani juga dikisahkan tentang anak Adam atau Seseorang yang diciptakan menurut gambar Allah sendiri, mendapat teguran atas Pembunuhan Kain terhadap abangnya Abel atau kisah prasejarah tentang Banjir Nuh di wilayah sekitar Israel ketika bumi penuh dengan kekerasan sehingga ditakdirkan untuk dihancurkan.
 
Perang suci umat Kristen
 
Didalam agama Kristen, Kekerasanan menggunakan simbol salib terjadi pada saat agama mendominasi peran Negara pada zaman kekaisaran Romawi kuno yang tak, baik untuk wilayah Yunani yang melingkupinya provinsi Roma Timur dan Kekaisaran Bizantium dan untuk bahasa Latin daerah yang meliputi Roma Barat dan Kekaisaran Romawi Suci yang terbentuk dengan Charlemagne, bahwa Negara Bagian dan gereja harus menggunakan kekuatan masing-masing untuk melindungi, saling mendukung dan saling mempromosikan, terlepas dari persaingan yang segera berkembang diantara mereka. Sebagai domain suci dan profan menjadi terjalin, penguasa sekuler melihat diri mereka sebagai pelindung gereja, dan anggota hierarki gerejawi melegitimasi dan mengilhami otoritas sekuler dalam banyak kesempatan. Pekerjaan misionaris dari pihak gereja-gereja menyebabkan perluasan dominasi sekuler. Hukum nasional dan hukum kanonik saling mengisi satu sama lain, standar gerejawi mengatur kehidupan sipil dan pihak sipil berwenang menghukum pelanggaran terhadap ajaran moral dan agama. Dari sini "Lengan sekuler dan lengan spiritual" saling memberi bantuan satu sama lain. Tapi Tindakan kekerasan sekuler secara tak terelakkan sering mengambil bagian aktif dalam kegiatan kekerasan dan kampanye secara total yang bahkan tidak sesuai dengan semangat pendirinya yang damai dan anti-kekerasan

Pada Abad Pertengahan gereja militan mengobarkan "perang suci". Menurut teori Augustinian mereka menggunaan kekuatan yang sah untuk mencapai tujuan untuk menyebar Kekristenan dan melakukan imprialisme .Yang mana hal ini sebenarnya bertentangan dengan semua tradisi gereja mula-mula. Peperangan seharusnya hanya dilancarkan untuk mengubah umat kafir, menyebarkan Injil dan memerangi ajaran sesat, sementara Perang Salib terjadi sebagai pembalikan sepenuhnya arti sebenarnya dari salib, melalui Paus Urban II dan Bernard de Clairvaux, yang mengobarkan perang atas nama Yesus Kristus untuk merebutnya "Tanah Suci" dari "orang-orang kafir", kaum muslimin. Akan tetapi banyak otoritas gereja tertentu yang tidak menyetujui tujuan perang salib tersebut sehingga mengakibatkan terjadinya perang melawan sesama orang Kristen, yakni pada Perang Albigensian yang berlangsung selama dua ratus
tahun lamanya.

Perang suci kaum Muslimin
 
Orang-orang Kristen juga harus secara bertahap mengetahui bahwa bahasa Arabnya kata ÿihåd (jihad) tidak sesuai dengan dua kata "perang suci" tapi mencakup keseluruhan arti. Pertama-tama, itu hanya berarti "usaha" dan dipahami dalam banyak bagian dalam Alquran sebagai "perjuangan melawan diri sendiri" moral dalam perjalanan menuju menemukan Tuhan: "Berjuang demi Tuhan dengan pengabdian diri kepada Nya.  "Kombinasi kata" suci "dan" perang "tidak muncul dalam Alquran; Menurut pemahaman Islam, perang tidak akan pernah "suci".
Namun, di bagian lain, kata jihad dipahami sebagai kekuatan "Perjuangan" atau "pertempuran", dalam arti perselisihan perang: "Percayalah kepada Tuhan dan Rasul-Nya, dan berjuanglah demi Allah dengan kekayaan dan orang-orangmu”. Hadiah langsung yang dijanjikan masuk ke surga "Dia akan ... memasukkan Anda ke kebun yang disiram air sungai; Dia akan mengantarmu ke rumah-rumah yang menyenangkan di taman Eden. Itulah yang tertinggi kemenangan. " Dalam islam umat muslim hanya diperintahkan untuk berperang ketika mereka merasa terancam bahkan ketika sekalipun mereka terancam dan ada cara lain untuk menghindari perang maka cara itulah yang akan dipilih untuk menuju pada perdamaian sebagaimana yang terjadi pada kisah nabi Muhammad Saw yang mendamaikan perselisihan antara umat agama di madinah dalam Piagam Madinah ataupun pada saat perjanjian Hudaibiyah yang meskipun itu melukai perasaan kaum muslim akan tetapi disepakati oleh Nabi untuk menghindari terjadinya peperangan antar umat agama. 


Dengan demikian, klise bahwa Islam disebarkan oleh "api dan pedang" tidaklah benar. Tujuan utama penaklukan awal adalah untuk memperluas wilayah-wilayah Negara Islam, bukan untuk mengkonversikan orang ke agama Islam. Konsep skematiknya sebuah dunia terbagi menjadi dua bagian, "wilayah (rumah) Islam" (dår al-Islåm) dan "wilayah (rumah) perang" (dår al-ªarb) datang kemudian, dengan perkembangan lebih lanjut pembagian hukum islam ini kemudian digunakan oleh seorang Penguasa Muslim untuk menegakkan bahwa aturan iman dan hukum di sekitar wilayah kekuasaan Islam dengan melakukan penjarahan dan Penaklukan memang tidak kondusif bagi kedamaian, karena hal itu memberi kesan bahwa tujuannya dari setiap Muslim saleh harus mengubah dunia non-Islam menjadi Islam, konsekuensi yang tak terelakkan yang akan menjadi perang tak berujung agama. Banyak kemudian umat agama yang tinggal di wilayah islam tersebut yang menolak untuk mengadopsi islam sebagai tatanan kehidupan. Sehingga pemerintahan islam menggunakan kebijakan takni jika mereka mensetujui maka akan dianggap sebagai "orang yang dilindungi", jika tidak, maka mereka akan berada dalam kondisi perbudakan dan harta benda mereka bisa jatuh ke tangan penakluk sebagai barang rampasan. Dunia Islam menjadi multiras Negara, tidak hanya melalui penaklukan tapi juga sebagai akibat dari budak membeli atau disita dari banyak negeri asing. 
Konsep jihad yang lebih radikal?
 
Pada abad ke-20, interpretasi politik baru diberikan pada konsep jihad. Kaum fundamentalis modern mampu menarik tidak hanya pada buku-buku hukum, Tapi juga tulisan-tulisan para teolog konservatif, khususnya Hanbali sarjana Ibn Taymiyah, yang dengan demikian mendapatkan status ayah spiritual secara radikal Islamis. Dalam fatwa tersebut (laporan hukum berdasarkan hukum agama), Ibnu Taimiyah telah memeriksa situasi umat Islam di bawah penguasa Mongol; dia mempertimbangkan yang terakhir menjadi orang yang tidak percaya dan berpendapat bahwa mereka harus diperlakukan demikian, sejak Mereka menyebut diri mereka Muslim tapi tidak mematuhi Shar'ia. Dengan demikian lebih mudah Bagi para ideolog Islam radikal di abad ke-20 tidak lagi membatasi diri jihad untuk melawan eksternal untuk kebebasan dari penjajahan, tapi juga untuk upah itu secara internal melawan penguasa otokratis kebarat-baratan mereka yang diduga melakukannya berhenti berlatih Islam Apalagi istilah jihad bisa dengan mudah digunakan untuk politik berakhir: seperti istilah militer "kampanye" dapat ditafsirkan ulang dengan beragam, seperti perlu, berarti perjuangan melawan keterbelakangan, perang melawan pariwisata, perang melawan reformasi ekonomi atau bahkan pembunuhan politisi liberal, penulis dan jurnalis.

Sejak tahun 1970an, sebuah radikalisasi konsep jihad ("jihad Islam") telah terlihat di antara kelompok ekstremis yang, meski terbatas jumlahnya,akan tetapi sangat berkomitmen Di bawah pengaruh Umar Abd Mesir ar-Rahman dan Abdallah Azzam Palestina, ideologis Gerakan Hamas (Yang awalnya didukung oleh Israel melawan Yasser Arafat), yang memutuskan untuk menyatakan jihad sebagai perjuangan bersenjata sebagai tanggapan terhadap pelebaran pendudukan Palestina dan kelambanan banyak rezim Arab. Satu kelompok teroris di bawah penunjukan sangat bertanggung jawab pada tahun 1981 atas pembunuhan tersebut Presiden Mesir Anwar al-Sadat, mengikuti inisiatif perdamaiannya di Indonesia Yerusalem; kelompok lain yang bernama teroris telah mengklaim tanggung jawab bersama dengan Hamas untuk melakukan pemboman bunuh diri di Israel. Fakta yang sangat menggelisahkan dalam semua ini adalah bahwa kelompok radikal ini terus mendapatkan pengikut baru keputusasaan untuk situasi bencana rakyat Palestina.
Peristiwa lain yakni Sejak 11 September 2001, bagaimanapun, bagian yang sangat ambivalen dimainkan oleh Arab Saudi, sekutu terbesar Amerika di Timur Tengah Arab, telah melakukannya menjadi semakin jelas (hubungan bisnis antara keluarga Bush dan Bin Laden), tidak hanya dalam hal ekspor minyak tapi juga dalam ekspor terorisme. Yang juga merupakan bentukan
Osama bin Laden yang bernama Al-Qaeda, terdiri dari orang-orang Saudi yang memberontak melawan keluarga kerajaan yang toleran berlanjutnya kehadiran tentara Amerika (30.000 tentara)
Termasuk juga penyakin Islam ‘Fundumentalisme’ yang mendorong kehancuran internal umat muslim dengan gejolak perbedaan praktek ibadah didalam agama islam yang kemudian gerakannya masif dan berdivusi secara alami dalam siaran-siaran televisi yang membuat banyak orang secara tidak sadar terpengaruh dan menjadi kelompok fundumentalis yang siap melakukan kekerasan terhadap kelompok lain dalam internal islam yang melakukan praktek ibadah yang berbeda dengan dirinya.
 
Solusi yang ditawarkan Hans Kung
1.      Interprestasi Agama dengan Semangat Kedamaian
Sebuah interpretasi religius dalam semangat damai sangat diperlukan guna memahami secara kritis ajaran-ajaran agama dalam konteks historis mereka dari waktu ke waktu  hingga sekarang. Hal ini membantuk memberikan Nilai Kedamaian yang bersifat Universal bagi kehidupan masyarakat Internasional antar agama dan negara. Untuk mencapai penafsiran agama dalam semangat damai tersebut diperlukan pendekatan ganda
Yakni:
Pertama, ucapan dan acara militan di masing-masing tradisi harus ditafsirkan dalam konteks sejarah mereka sendiri saat itu. Ini berlaku untuk ketiga agama tersebut:
- Perang "Yahweh" yang kejam dan mazmur pembalasan dendam di dalam Alkitab Ibrani harus dipahami dalam konteks perampasan tanah dan selanjutnya membela diri melawan musuh yang lebih kuat;
- Perang misionaris Kristen dan Perang Salib berasal dari gereja-gerejawi ideologi Abad Pertengahan dan Abad Pertengahan;
- Panggilan Quran untuk perang mencerminkan situasi spesifik Nabi di Masa Madinah dan sifat khas surah Madinah. Tepatnya itu Seruan untuk berperang melawan orang Mekah politeistik tidak bisa digunakan hari ini sebagai sebuah prinsip membenarkan penggunaan kekuatan.

Kedua,
memberikan khutbah dan contoh prilaku yang mencerminkan perdamaian oleh figur agama maupun politik, baik dari otoritas sekuler maupun religius. Ini Seharusnya paling mudah bagi orang Kristen, karena mereka tidak harus melacak asal usul mereka kembali untuk para nabi dan pahlawan prajurit seperti Musa dan Elia atau raja yang agresif seperti Daud, melainkan cukup dengan mempercontohkan para pengkhotbah yang lembut dalam berbicara seperti pada era gereja mula-mula, setidaknya pada awalnya di Kekaisaran Romawi kuno. Yang mana mengkotbahkan pesan tuhan bukan melalui kekerasan tapi melalui pesan keadilan, cinta dan hidup yang kekal. Sehingga selain interprestasi religius tehadap ayat agama seharusnya tindakan agama yang mencerminkan kedamaian adalah dengan dipraktekkan dalam kehidupan.

2.      Pendidikan Pedamaian dalam Agama
Hal yang dapat dilakukang dalam menciptakan tatanan nilai perdamaian secara universal salah satunya yakni dengan mencontoh Pendidikan perdamaian dalam agama islam.
Banyak orang Kristen hampir tidak menyadari bahwa sedikit ayat Alquran prihatin dengan perang dan kekerasan, dan bahwa kata-kata "belas kasihan" dan "damai sejahtera" terjadi jauh lebih sering daripada "jihad". Menurut Alquran, Tuhan bukan penguasa perang (itu bukan nama untuk Tuhan!); Sebaliknya, seperti pada kata-kata pertama (dikutip oleh umat Islam pada awal setiap doa atau ucapan) pembukaan surah, Dia adalah "Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang." Di antara 99 nama-Nya ada judul damai seperti "Lembut", "Yang Penuh Kasih", "Pemaaf. "Apalagi," islam "(pasrah, tunduk) yang harus dilakukan manusia Tunjukkan kepada Tuhan secara etimologis berasal dari batang yang sama dengan "kedamaian" (salam); Oleh karena itu, salam dari Muslim "Damai sejahtera bagi kamu" (Salåm Ùalaikum / Ùalaika!). Tuhan memaafkan, dan orang-orang yang memaafkan mengikuti teladan Allah.
Alquran mengandung semacam aturan emas yakni: "Hindarilah yang jahat dengan baik, dan siapa dia apakah musuhmu akan menjadi teman tersayangmu? " Perdamaian harus dilakukan di atas semua orang di antara pihak-pihak yang bertikai dengan orang beriman. Tapi perdamaian juga harus dilakukan dengan musuh: "Jika mereka condong untuk berdamai, berdamai dengan mereka."  Hari ini, instruksi dalam prinsip-prinsip perdamaian diperlukan, secara individu dan secara kolektif, untuk anak-anak dan orang tua, untuk para ulama dan politisi.


Sayangnya, seberapa banyak pesan damai dan panggilan untuk perdamaian dibuat oleh kelompok sekuler maupun religius tetaplah tidak akan bisa mencegah perang sepenuhnya dan menghilangkan konsep holy war untuk selamanya. Bahkan terciptanya Hukum humaniter Internasional yang ditujukan kepada masyarakat internasional pun, yang tak ternilai harganya untuk melawan barbarisme dan bestialitas tetap tidak bisa menghentikan potensi adanya peperangan antar agama. seperti yang ditetapkan di Konvensi Jenewa dan dengan penuh perhatian dipantau oleh Palang Merah. Karena selalu Ada bagian yang melemah Dari undang-undang itu, oleh siapa saja, karenanya harus dengan tegas dimentahkan oleh masyarakat internasional, sesuai dengan pertanyaan retoris yang diajukan oleh Henry Dunant: "... di zaman ketika kita mendengar begitu banyak kemajuan dan Peradaban, bukan masalah urgensi, karena sayangnya kita selalu tidak bisa menghindari perang, untuk terus maju dalam semangat kemanusiaan dan benar-benar beradab untuk mencegah, atau setidaknya meringankan, kengerian perang?”

Sumber Ilmiah: Hans Kung. 2005. Religion, Violence and Holy War. Jurnal International:Review of The Red Cross. Vol: 87 No. 858. United Kingdom.

Gagal? hubungi contact blog!

Advertisement

0 komentar:

Post a Comment

Ayo berpendapat , kasih kritik dan sarannya dong?!

 
Top