A. Fenomena Ojek Online dan Problematikanya
Kira kira siapa yang belum mendengar tentang ojek online?Go-Jack,
Grap Bike, Uber, ojek syar'i, blue jack dan sebagainya.Adakah yang belum
pernah mencoba salah satu transportasi online ini?
|
Dinamika sosial masyarakat menelorkan berbagai fenomena baru yang
kerapkali memiliki dwifungsi yang menarik untuk diperbincangkan publik, baik
sisi negatifnya maupun positifnya. Tak terkecuali pada fenomena GO-JACK (ojek
online) yang sejak tahun 2015 lalu memulai launchingnya ke publik oleh Nadziem
Makarim.
Disisi negatifnya berberapa problematika tentang kehadiran go-jack
ke masyarakat muncul, mulai dari kesenjangan sosial terhadap ojek off-line
(konvensional) yang merasa memiliki saingan dan kehilangan pelanggan, hingga
kemudian terjadi benturan fisik antar ojek online dan konfensional tersebut.
juga pada kasus GPS-fake yang menjadikan antar ojek online
mengalami bentrok karena merasa dimonopoli oleh salah satu akun pemakainya,
hingga sekarang pada kasus pengendara ojek online yang melanggar lalulintas
seperti; mengendari motor melewati batas kecepatan standart yang di wajibkan
dengan alasan mengejar order untuk mencapai tahap tutup point dan kini masalah
baru muncul tentang pelanggaran Sefty Riding (keselamatan berkendara)
dikarenakan mereka melakukan aktifitas menggunakan handphone yang dapat
mengganggu konsentrasi dalam berkendara.
B. Undang-Undang Tentang Keselamatan
Berkendara
Aturan keselamatan berkendara ini diatur dalam UU NOMOR
22 TAHUN 2009 Pasal 283 tentang Aturan Lalu Lintas mengatur, bahwa setiap orang
yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan secara tidak wajar dan melakukan
kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan
konsentrasi dalam mengemudi, dipidana dengan pidana kurungan paling lama tiga
bulan kurungan atau denda paling banyak Rp 750.000.
Disis ilain untuk mengatasi gagal konsentrasi dalam berkendara,
pada awalnya perusahaan go-jack sendiri menggandeng Rifat Driving Labs (RDL),
konsultan keselamatan berkendara yang didirikan pembalap MotoGP Rifat Sungkar,
untuk memberikan pelatihan safety riding kepada para calon ridernya, akan
tetapi berdasarkan pemberitaan di portal berita online tirto.id belakangan ini
banyak perusahaan ojek online tersebut tidak melakukan pelatihan sefty riding
kepada para pengemudi ojek online tersebut.
Budi ( bukan nama sebenarnya) misalnya, salah satu pengemudi
misalnya, menuturkan bahwa dirinya tak pernah menjalani pelatihan khusus saat
bergabung dengan Go-Jek pada 2016. “Saya datang ke kantor enggak dikasih
apa-apa. Cuma arahan-arahan dan buku panduan,” katanya. Ia menambahkan,
"istilahnya kalau kata orang Jawa diculke neng rimba [dilepas ke hutan
belantara] langsung.”
Tirto sempat menghubungi Public Relation Consultant Go-Jek, Anisa
Idea untuk meminta bantuan konfirmasi ihwal informasi pelatihan safety riding
yang tak lagi diterapkan kepada para mitra Go-Jek, khususnya di luar Jakarta.
Ia sempat merespons, dan meminta pertanyaan kami dikirim melalui email. Namun,
belum ada jawaban dari pihak Go-Jek Indonesia sampai artikel ini diturunkan.
Selain Go-Jek, penyedia aplikasi Grab juga tak memberikan pelatihan
yang cukup saat proses rekrutmen. Seorang pengemudi Grab bernama Doni, bukan
nama sebenarnya, mengatakan kepada Tirto, tidak mendapatkan pelatihan atau
praktik safety riding di lapangan.
Bahkan secara pribadi banyak dari rekan penulis yang bisa masuk
menjadi mitra salah satu ojek online tersebut dengan sangat mudah walaupun
mereka tidak memiliki SIM dan motor yang sesuai ketentuan yang diberlakukan
oleh perusahaan ojek online terkait. baik dengan cara meminjam SIM rekannya
ataupun dengan merental motor agar kondisi motor sesuai dengan prosedur
pendaftaran. setelahnya mereka bisa masuk tanpa lolos seleksi dan tidak
mendapatkan pelatihan safety riding.
B. Apakah Ojek Online Harus dihentikan?
Lalu apakah ojek online harus dihentikan.
menurut hemat penulis tentu perusahan ojek online tersebut harus
memberikan prosedural rekrutmen mitra kerja yang lebih sesuai dan memberikan
pengawasan terhadap para driver ataupun ridernya, apalagi memang transportasi
oline tersebut tidak memberikan asuransi keselamatan kepada para penggunanya
jika nantinya terjadi hal yang tidak diinginkan saat berkendara.
selain itu tahap pelatihan semacam safety riding juga harus kembali
dilakukan, bila mungkin perusahaan terkait memberikan penyuluhan kepada
berbagai team/ group ojek on-line yang sekarang ini secara inovatif sudah
saling memiliki kelompoknya masing-masing, juga agar mereka memiliki
solidaritas yang kuat dan tidak saling bermusuhan walaupun memiliki perkumpulan
dimasing-masing wilayah.
hal yang tak kalah penting lagi adalah perlunya tehnologi pendukung
oleh para penyedia layanan transportasi online ini yang dapat membantu para
mitra ojek online untuk mengetahui lokasi ride yang mereka tuju tanpa
mengganggu mereka dalam berkendara atau tanpa menggunakan hanphone saat
melakukan perjalanan menuju destination yang dipesan pengguna ojek online agar
terhindar dari pelanggaran UU 22 Th 2009 pasal 283 tersebut diatas.
Namun apabila pihak transportasi online tersebut tetap diam, saya
kira pemerintah harus memberikan sikap tegas untuk mencabut transportasi online
tersebut dari peredaran. Karena mengingat mereka adalah perusahaan independen,
yang tidak memberikan keuntungan lebih secara ekonomi untuk pemerintah guna
meningkatkan pembangunan infrastruktur diberbagai daerah di indonesia yang
masih banyak tertinggal, kecuali dari hasil penarikan pajak perusahaan
tersebut. selain itu dengan adanya ojek online ini pun, turut menggeser
keberadaan transportasi tradisional seperti becak, dokar, bentor dan bahkan
transportasi umum yang notabenenya milik pemerintah seperti, kopaja, angkot,
transjakarta, transjogja, dan sebagainya.
Sumber: