IKLAN ADSENSE IKLAN ADSENSE IN FEED Cer-PENA #3 Penjara Suci Ku Tak Sekejam Pikirku Tentangnya | Poedjakoesoema ADSENSE ARTICHLE

HOS



Cer-PENA #3
Penjara Suci  Ku Tak Sekejam Pikirku Tentangnya
Oleh    :  Heri Setiyawan




 “Senakal-nakalnya anak pondok masih nakal anak luar pondok dan sebodoh-bodohnya anak pondok itu sepinter –pinternya anak yang nggak mondok
Aku adalah anak rumahan, sejak lulus Sekolah Dasar hari-hari ku semakin mengasyikan. Jam sekolahku masuk hanya empat jam dalam sehari, itu pun masih dengan waktu istirahatnya yang selama 15 menit. Dan akan semakin luang jika mata pelajaranya Penjaskes, karena pak Joko, guru bidang study mata pelajaran ini lebih suka praktek langsung dari pada hanya menulis langkah-langkah melakukan tehnik dalam olah raga. Misal, senam lantai, seperti sikap tegak lilin, roll depan atau roll belakang hanya dalam tulisan yang setelah sampai rumah saja, pasti sudah terlupakan.
Sebenarnya sebelum ku masuk ke MTs, orang tua ku mengharapkan ku untuk bisa masuk ke Pondok Modern Al-Madinah di desaku. Dengan harapan, aku bisa menerapkan bahasa inggris dan bahasa arab dalam keseharian. Namun, kendati demikian aku lebih memilih belajar disekolah biasa, bukan semacam perpondokan. Bahkan untuk penawaran kedua dari orang tua ku pun tetap ku tolak, yakni mendaftar ke pondok pesantren as-salafiyah yang lebih dekat dari rumah, yang suasana sosialnya lebih guyub ketimbang pondok modern tadi.
Pondok atau  Pesantren.
Ketika mendengar kata demikian yang ada dalam anganku hanyalah bayang-bayang mengenai sebuah penjara yang didalamnya berisi narapidana dengan sebutan santri, yang dikekang dan tidak boleh memiliki banyak waktu untuk bermain. Padahal menurutku, dimasa usia 12 tahun sepertiku ini merupakan masa bermain kami yang tidak boleh dihalang-halangi.
Banyak cerita yang kudengar dari teman-temanku yang keluar dari pesantren setelah beberapa bulan ada disana. Salah satunya dari Bagas, sahabat sepermainanku yang selama SD selalu bermain bersamaku sepulang dari sekolah.
“Di Al-Madinah tuh kalo kamu gak bisa ngafalin tugas dialog, verb dan kosakata dalam bahasa Inggris dan Arab yang buanyak itu kamu pasti bakalan kena hukuman, minimal lari lapangan sebanyak kata yang gak kamu hafal. Tau gak lapanganya seberapa ?”. “emang seberapa gas?”. “ ya selapangan sepak bola yang ukuranya seratus sepuluh meter itu panjangnya, bukan kayak lapangan futsal kita disekolahan dulu” Jelasnya, menggambarkan hukuman yang kejam yang harus dilakukan untuk anak yang tidak bisa menghafalkan tugas-tugas yang diberikan ustad yang ada disana.
Padahal aku menilai belum tentu anak yang tidak hafal itu tidak mau berusaha menghafalkan namun karena kecerdasan yang dimiliki seseorang berbeda-beda dan mungkin mereka yang belum hafal tepatnya, memang mampu menghafalkan hanya beberapa saja.
Selain dari Bagas ada juga beberapa cerita dari teman-temanku yang lainya. Katanya.
“Eh Ery, aku baru tau juga waktu disana, ternyata anak yang kesiangan bangun dan terlambat sholat akan dapat hukuman. Tinggal memilih denda atau dipukul.”kata Asrori yang dahulunya juga teman sekelasku.
Ditambah lagi kata Fani tentang anak yang tidak mengerjakan tugas
“kalo kamu gak ngerjain PR , pasti disuruh ustad bersihin WC yang bau itu”.
Yang lebih menakutkan adalah ketika mereka sepakat mengatakan bahwa di pondok merupakan tempat yang banyak penampakan-penampakan hantu yang mengerikan, sontak hal itu membuat ku merinding, apalagi malam itu ketika kami saling berbagi cerita tepat pada malam dihari jumat .
Mindset ku tentang ketatnya peraturan,kejamnya hukuman dan berhantunya pondok modern didesaku terbangun, bahkan ia menarik kesimpulan bahwa semua pondok pesantren modern memiliki suasana sedemikian. Hal tersebut belum selesai, ditambah lagi cerita tentang Pesantren As-salafiyah yang ku dengar dari teman-taman sekelasku di MTs yang sempat ku kuping saat mereka sedang ngetem di kantin luar sekolah.
“Rek, ngapain sih tiap malem nonton mister tukul jalan-jalan, mending kalo kalian berani ke pondok ku aja, disana acaranya live, ada kuntilanak, pocong, tuyul dan semuanya bisa sampean wawancarai”.”emang seserem itu ya?”.”peeh buktiin aja sendiri deh”.Kata salah satu teman yang sejak kelas 5 SD sudah tinggal di As-Salafiyah.
“Haha, ya besok tak coba kesana. Eh Mas denger-denger kemaren ada yang sampai dipukulin ya sama pengurus pondok gara-gara gak ikut sholat karna ketiduran. Trus katanya ada santri yang disuruh bayar denda juga, gara-gara kabur ngindarain hafalan Nadhoman Alala (Kitab Ta’lim Mutaalim)”.”loh kamu tau dari mana?”.”ya katanya sih” Perbincangan mereka terdengar semakin seru saja membuatku mengerti bahwa aku bukan orang pondok dan aku tak akan datang kesana.
Namun kakak kelas yang ikut diperbincangan saat itu yang juga mondok di As-Salafiyah menceritakan hal lain “ya memang dikebanyakan pondok itu banyak Jin-nya, angkerlah pokoknya.Ketat peraturanya, hukumanya pun serasa aniyaya”
“Tapi...” Ia menambahkan.
kamu bakal gak takut kalo memang belajar serius dipondok, asal serius aja, asal gak neko-neko, asal manut dan tawadhuk, kamu pesti bakal pinter deh daripada temen lain yang gak ngaji dipondok”.
“Karna kalo aku pernah ngaji nih ya bareng Abah[1], Abah pernah bilang, Senakal-nakalnya anak pondok masih nakal-anak luar pondok dan sebodoh-bodohnya anak pondok itu sepinter –pinternya anak yang nggak mondok”Jelasnya.
Jleb!!
Ada bagian dari dadaku seperti tertusuk panah dari arah depan yang tak ku sangka-sangka. Aku yang sedari tadi menguping mereka, kini serasa berada di tengah-tengah lingkaran yang sedang mereka buat saat itu. Kata-kata yang dilontarkan oleh seorang kakak kelas yang aku belum tau namanya itu, langsung ter-save begitu saja dalam memori ingatanku dan mengambil bagian Whenever play dalam otak ku.
Sepulang sekolah aku terus-menerus terngiang kata kata itu, kata yang sederhana tanpa maksud menyindirku itu rasa-rasanya, semakin teringat malah semakin terasa seperti menyindirku. Dan pasalnya itu datang dari perkataan seorang kyai pondok pesantren, yang seolah tak terima tentang dakwa ku terhadap kata pondok ataupun pesantren yang selama ini ku anggap sebagai penjara.
Miris!!
Hari ini adalah hari ulang tahun ku, tanggal 22 September . Ayah memberikan kado terburuknya, padahal tak pernah ayah membuatku kecewa mengenai isi kado yang diberikanya kepadaku selama ini.
Ya, sebuah Sarung dan Piama muslim lengkap dengan songkoknya yang menjadi pertanda aku harus menuruti keinginanya yang sejak lama ku tolak. Yakni masuk ke pondok pesantren As-Salafiyah.
Ayah selalu berkata “Pumpung kamu masih kecil, masih baik ingatanmu Ry untuk menangkap pelajaran-pelajaran agama, menghafal kitab-kitab dan ilmu-ilmu fiqih. Menghafal dia-doa yang akan berguna nantinya sewaktu sudah besar dan berkeluarga, jangan sampai kamu menyesal seperti ayah, dulu ayah juga selalu menolah kalo si mbah menyuruh ayah mondok, nah sekarang untuk menghafal doa-doa ayah kesulitan dan harus mengulangnya berkali-kali supaya tidak hilang hafalanya itu pun masih tetap gagal. Kalo kamu mondok insyallah nantinya akan jadi orang ry”.
Itu kata-kata andalan ayah yang selalu diucapkanya untuk membujukku selama ini. Namun entah kenapa kali ini aku tak berdaya dan tidak berontak seperti biasanaya. Mungkin karena hipnotisnya melalui Sekotak kado ini atau karena ingatanku yang mulai terngiang-ngiang perkataan kakak kelas yang kemarin terasa menampar keras ke telingaku.
Seharian ini aku mulai mempersiapkan mental ku untuk menghadapi ketakutan dan suasana penganiayaan yang akan aku jalani di pesantren itu.
Sore tiba dan aku harus berangkat, melajukan sepeda menuju tempat yang tak pernah ku inginkan sebelumnya walau berada hanya satu kilo jauhnya dari rumah ku itu, membuatku bepikir, belokan sepedah mu dan pergilah kerumah Bagas maka hari akan berakhir. Tepat lima meter dari pintu masuk pondok aku putarkan sepedah dan mulai mengayuhnya perlahan.
Tragis!!
Tepat lima meter setelah ku membalikan sepedah ku. Terlihat Abah bersama para pengurus pondok berjalan untuk masuk ke pondok melihat waktu yang menjelang magrib. Seolah memergoki niat membolosku Abah menatap tajam kearah ku dan kemudian bertanya dengan bahsa jawa yang sopan dan karismatik sekali “Oh sampean anaknya pak Sukar yang katanya mau mondok kemari to le?”. “E injeh bah”jawabku dengan badan yang gemetar dan jantung yang berpacu cepat tiga detak per-satu detiknya.
Adzan magrib dikumandangkan, para santri mulai berdatangan memenuhi tempat wudhu dan meninggalkan gotaka[2]. Tak ada raut muka cemas tentang hukuman dan hafalan yang mengancam mereka di jam-jam selanjutnya. Yang ku lihat hanyalah senyum ceria dan suasana saling komunikasi dan guyonan di tempat wudhu itu, tempat yang mirip dengan kolam kecil sederhana setinggi dada dengan air penuh yang digunakan untuk berwudhu, juga beberapa kran air yang sama fungsinya.
Selesai sholat semua santri tidak pulang dari masjid, namun tetap duduk dan membaca alquran, setoran hafalan dan ada juga yang masih menghafal. Diantara yang duduk bergerombol ada yang mendatangiku mungkin karna melihat aku duduk sendiri dan hanya melihat mereka tanpa membaca quran yang sedari tadi ku pegangi.
“kang, dari mana?, njenengan santri baru njeh?” “njeh, saya dari desa sebelah”.”owh, ndak usah malu-malu kang, disini semuanya santri, dan semua santri berteman, dan disini ndak ada yang pintar, wong karena mereka lebih dulu aja jadi hafalanya banyak. Toh mereka ya ngak ada yang keliatan pintar tho hehe”
Ia membuka perbincangan kami dengan guyonan-goyonanya dan kami berlanjut dengan perkenalan, sejak saat itu Madi dan Aku berteman dan ia mengenalkan teman-teman santrinya yang tadi menggerombol di depan kami berdua. Perkenalan itu semakin seru sampai-sampai kami mulai ditegur santri pengurus dan diam sejenak namun tetap melanjutkan obrolan dengan cara griliya.
Waktu serasa begitu cepat Adzan Isya dikumandangkan setelah sholat para santri biasa berzikir bersama-sama sehingga masjid menjadi ramai dengan lantunan dzikrullah,[3]dzikir dengan mengeraskan suara untuk mengajarkan para jamaah lafadz yang diucap setelah shalat ini dilakukan setiap sholat yang di-dzaher-kan[4]. Setelah selesai shalat kelas santri dibuka, beberapa santri maju secara bergantian untuk menyetorkan hafalan nadhoman imrity dengan nada syairnya yang khas dan diucapkan bersama sama didepan kelas. Semuanya maju kecuali aku yang memang baru masuk, aku hanya disuruh untuk menyimak saja. Yang aneh dalam pikiranku kenapa mereka semua bisa menghafalkan nadhom sepanjang itu walau memang ada yang terbata-bata namun nyatanya mereka semua berucap sesuai dengan yang ada di kitab yang aku pegang saat itu, padahal setahu ku jadwal pondok ketat sekali dan pagi mereka sudah harus berangkat sekolah. Lalu kapan sebenarnya mereka belajar dan mengafal setelah pelajaran selesai?.
Pukul 09:00 malam baru kelas santri selesai. Ada kelas tambahan bagi yang mau mengikutinya, yakni ma’noni[5] kitab di Ndalem[6] abah, dari jam sepuluh samapai larut jam dua belas malam atau kurang dari itu. Sedang yang memilih tidak ikut ada yang menambal terjemahan kitab yang masih kosong dan ada pula yang bermain-main saja. Hal lain yang selama ini diceritakan diluar pondok tentang kesurupan saat itu aku temukan, dan engan kepala mataku sendiri aku melihatnya. Dan anehnya tidak ada yang takut disana malah Jin-jin yang meruki santri itu ditanyai dan diminta Islam atau Kafir, sudah ngaji kitab apa saja di pondok itu? Banyak yang lucu dari perkataan yang disampaikan, ada juga yang berusaha menunjukan kenakalan santri tentang membolos, mencuri dan mendatangi santriwati ada pula jin yang mengoreksi bacaan alquran yang dibaca oleh santri yang berusaha merukiyahnya. Suasana tak sengeri[7] suasana yang disajikan diacara-acara TV yang dibumbui dengan musik seram itu. Namun ia lebih menyadarkan kita kepada sang khalik, sang pembuat manusia, jika yang diciptakan saja sehebat itu apa lagi sang penciptanya sendiri,Allah SWT.
Malam kami menggembirakan, mendengar lantunan habib syech dan ababul mustofanya, bermain bola api, bermain Dam-daman[8] atau sekedar membakar kayu untuk menghangatkan badan dan bercerita-cerita kesana kemari sembari membakar gabah agar meletup menjadi semacam pop corn namun dari beras sampai akhirn agar meletup menjadi semacam pop corn namun dari beras sampai akhirnya banyak menguap dan tidur di dampar[9] yang sudah tidak digunakan untuk mengaji di luar kamar.
Dua minggu sudah aku berada di pondok. Malam ini, seperti malam-malam biasanya bedanya aku telah menghafalkan beberapa ayat Al-Quran dan beberapa nadhom kitab Imrity juga ma’noni kitab Sulamunajah dan Ta’limuta’alim yang terkenal dikalangan Santriwan-Santriwati itu.
Saat malam melarut semua teman-teman santri telah terlelap lebih dulu karena telah kenyang perutnya dengan beberapa ubi jalar yang kami bakar, hasil pemberian Abah. Namun aku tetap terjaga untuk merenungkan banyak hal yang tidak benar yang selama ini ku dengar dari cerita teman-temanku diluar pondok. Memang benar pondok kejam dengan hukumanya, namun hukuman itu tidak akan pernah datang selama kita taat kepada aturanya, dengan kata lain memang hukum itu ditujukan bukan kepada santri sejati, namun untuk santri-santrian yang datang kepondok. Dan benar hafalan yang diberikan untuk santri sangat banyak, namun itu akan jadi ringan jika kita bersama belajar menghafal dan saling mengingatkan seperti makna dan tafsir surat al-asr yan begitu luar biasa itu, dimana Allah SWT mengingatkan kita pentingnya waktu dan bagaimana cara memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Satu hal lagi yang salah besar dalam pikiranku mengenai waktu bermain yang akan tersita jika aku masuk pondok. Karena malahan dengan aku disini aku semakin merasa bahwa setiap waktu adalah bermain, bedanya yakni sambil belajar, tidak ada pemisaan antara waktu bermain dan belajar, yang ada belajarku sambil bermain dan sebaliknya. Dan satu hal lagi yang aku amini yakni tentang perkataan yang sebelumnya membuatku jengkel karena terus-menerus terngiang dikepalaku yakni tentang perkataan
Senakal-nakalnya anak pondok masih nakal anak luar pondok dan sebodoh-bodohnya anak pondok itu sepinter –pinternya anak yang nggak mondok”
Perkataan yang aku nilai datang dari Allah SWT melalui Abah dan disampaikan melalui santrinya, dan kini akan ku sampaikan pada tamen-teman ku yang lainya. Aku semakin percaya bahwa memang pondok ataupun pesantren adalah tempat semacam penjara, namun indahnya itu adalah sebuah “Penjara Suci” untuk menyucikan hati dan tidakan kita dalam menjalani kehidupan agar sampai saatnya siap untuk kembali menghadap sang pembuat kehidupan ini,walau dengan cara dipaksa, terpaksa, dibiasakan dan terbiasa.
***
Yogyakarta, Minggu, 25 Oktober 2015






[1] Abah : Kyai Pondok
[2] Gotakan : Kamar Santri
[3] Dzikrullah ;Dzikir : Mengingat Allah SWT
[4] Dzaher : Dikeraskan
[5] Ma’noni : Memaknai, Memberi arti pada kitab
[6] Ndalem : Rumah tempat tinggal abah
[7] Sengeri : Menakutkan
[8] Dam-Daman : Permainan Catur dari Jawa
[9] Dampar : Meja Untuk Mengaji

Advertisement

0 komentar:

Post a Comment

Ayo berpendapat , kasih kritik dan sarannya dong?!

 
Top