SATU
GERBANG INTERAKSI
GERBANG INTERAKSI
Desember
2015
Menoleh kebelakang, terlihat lembaran kisah…
“Maaf pak saya telat?!”
“Kenapa telat?”
“Asrama saya jauh pak di jalan condong catur, empat setengah kilo
dari sini, sedang saya bersepedah.”
“Ya sudah sana tutup pintu”
“Baik pak”
“Loh kok malah duduk disitu.. sana tutup pintunya dari luar”
Dia Pak Romas, manusia paling disiplin dan menyebalkan. Sangking
menyebalkannya anak rambut pun tak mau tumbuh di kepalanya. Kepala botaknya itu
selalu saja mengkilap-kilap ketika beliau berjalan mondar-mandir sambil
menjelaskan materi. Mungkin memang dari orok kepalanya semulus itu. Beliau
selalu menantang kepada mahasiswanya dikelas, apabila mampu mengangkat tangan,
menyalahkan teori dan pemaparan yang telah disampaikan kemudian mampu bertanggung
jawab atas itu, maka tanpa ujian tengah atau akhir semester pun mahasiswa itu
akan mendapat score A dari beliau. Namun nyatanya tak pernah ada yang berani
selama aku berkuliah disini. UIN Sunan Kalijaga.
Akan ku perkenalkan padamu, namaku Hendy, umurku baru 19 tahun
(saat itu di tahun 2014). Jadi pendiam sudah sejak pertama menginjakkan kaki di
tanah jawa setelah 17 tahun lamanya meninggalkannya. Dulu terakhir kali aku
masih seumur orok, 2 tahun.
Aku adalah seorang Poedjakoesoema kata salah seorang Dosen S3 di
UGM, yang dulu pernah bertanya tentang ku di Pendopo Sekolah Rakyat miliknya di
daerah Bantul, ketika aku dan teman-teman asrama berdiskusi sambil lalu tentang
budaya dan cara membentuk karakter pemuda yang kuat. Kata beliau, Poedjakoesoema dengan ejaan Suande ini merupakan kependekan dari
kata ‘Putra Jawa Keturunan Sumatera’. Aku hanya mengangguk mengamininya,
tak ada yang keliru prihal itu bagi ku, karena begitulah garis keturunanku.
Seperti yang kalian lihat dalam sinetron ataupun FTV, seorang
pendiam biasanya bukanlah orang yang pandai mengolah tubuh. Mungkin orang yang
tak pandai exschool olahraga apapun, baik badminton, tenis, pencak
silat, tari dan lainnya. Maka mungkin dia pandai dalam pelajaran lain seperti
Fisika, Kimia, Biologi atau Matematika.
Namun aku tak demikian. Aku bukan salah satu dari mereka. Tak
pandai dalam akademis dan pula tidak pada bidang teknis. Atau memang aku
sendiri belum mengetahui, dimana bakat ku? Aku juga masih bertanya-tanya. Apa
hebatku?
Minggu ini adalah minggu pertama perkuliahanku dimulai, semuanya
terasa menakjubkan. Menginjakkan kaki di tanah penuh sejarah, kaya budaya dan
tanah yang pernah menjadi saksi bisu para tokoh bangsa ini dalam mempertahankan
kemerdekaan. Ngayogyakarta Hadiningrat. Kepadanya aku telah jatuh cinta
semenjak aku masih kelas X (sepuluh) Madrasah Aliyah (MA) di daerah Lampung.
Walau meskipun rasanya sangat capek sekali ketika harus berangkat
kulaih mengayuh sepedah dari jarak yang amat jauh dan waktu yang tidak
mendukung setiap paginya untuk datang lebih awal ke kampus, namun rasanya capek
itu sontak hilang ketika aku telah mencium bau wangi mahasiswa-mahasiswi yang
beraroma semangat demi memperdalam keilmuannya masing-masing digedung-gedung
putih bernuansa oriental yang saling terhubung itu.
***
“Sejak zaman kerajaan Mataram kuno dan Majapahit.
Tragis, nasib manusia semakin pahit.
Genderang perang lagi-lagi ditabuh
dan anak-anak kecil keras menjerit mengaduh.
Cinta, kasih, damai dan ketentraman semakin sempit
Pandangan manusia tentang kemanusiaan pun semakin sipit
Cinta, kasih, damai dan ketentraman semakin sempit
Pandangan manusia tentang kemanusiaan pun semakin sipit
Ketika yang
buta menjadi penguasa
Maka rakyat kecil mulai bertanya-tanya
‘Apa yang terjadi pada kita?’
‘Apa yang terjadi pada kita?’
Uang-lah yang
menjadi jawabanya.
Ketika uang lebih dari sekedar alat tukar menukar barang dagangan
Ketika ia menjadi parameter struktur sosial,kedudukan dan tingkat
kekuasaan
Ketika semua dapat dikendalikan dengan uang.
Kaum borjuis meringis merasa ia telah menang.
Uang yang mereka puja telah menjadi Tuhan.
Tuhan yang senantiasa diperjuangkan hingga titik darah penghabisan
Tutup mata soal moral dan etika kemanusiaan
Kaum borjuis meringis merasa ia telah menang.
Uang yang mereka puja telah menjadi Tuhan.
Tuhan yang senantiasa diperjuangkan hingga titik darah penghabisan
Tutup mata soal moral dan etika kemanusiaan
Saat uang telah ia dapatkan bahkan tuhan sejati pun dipenjarakan.
Uang, uang dan UANG..
empat huruf yang dalam satu
kata yang membutakan.”
Suara tepuk tangan terasa begitu meriah kala seorang orator membacakan
puisi dalam orasinya di pertigaan jalan utama Jogja-Solo. Asap hitam terlihat
mengepul dilangit, tercium bau sangit ban yang terbakar didekat keramaian itu
untuk menculik perhatian pengguna jalan jogja-solo, dan agar mereka berjalan
lebih lambat untuk mendengarkan isi tuntutan dalam demo tersebut, disisi lain
terlihat beberapa polisi berdiri tegak mengamankan situasi.
Demonstrasi semacam ini sering dilakukan untuk membangkitkan
kesadaran dan semangat perjuangan melawan kaum Borjuis yang menindas rakyat
karena pembangunan-pembangunan hotel yang semakin hari semakin marak dan
disamping itu menimbulkan masalah semisal kekurangan air diperkampungan sekitar
desa, bertambahnya kemacetan, terpuruknya pasar tradisional dan tumbuhnya
budaya hedoisme yang gelamor dimasyarakat Yogyakarta karena standar kehidupan
yang meningkat. Pemantiknya tentu brand-brand terkenal yang memenuhi periklanan
baik di televisi, radio, koran, spanduk jalan dan sebagainya.
Aku hanya memperhatikan pemandangan itu dari kejauhan sembari
mengayuh sepedahku perlahan menjauhi situasi demonstrasi itu. Ternyata hal yang
selama ini aku bayang –bayangkan ketika berkuliah di Jogjakarta tak seperti
kelihatannya sekarang.
Aku selalu berfikir nantinya pasti mendapatkan teman yang banyak,
masuk ke komunitas-komunitas musik, beatbox,
dance, kesenian, sanggar atau komunitas hip-hop terkenal di jogja semacam JHF
(Jogja Hip-hop Fondation) itu. Nyatanya tidak!
Hari-hariku selalu saja membisu, tiada teman
untuk ku ajak berbincang, tempat tinggalku yang jauh, tanpa kendaraan dan hidup
di asrama pesantren, membuat ku kurang memiliki banyak kesempatan untuk dapat
berdiskusi bersama teman-teman yang kebanyakan ikut pergerakan dan sering
berkumpul mengerjakan tugas perkuliahan di kafe-kafe dekat kampus setiap
malamnya.
Selain itu teman-teman sekelas yang lebih
memilih berkomplot sesuai daerah mereka masing-masing juga memberi sekat dan
mengisolasi ku untuk tidak dapat berkomunikasi secara intens bahkan bersahabat
baik dengan mereka.
Justru saat-saat seperti itulah, aku mulai merenungkan betapa
sengsaranya kehidupan ini. Padahal aku tergolong normal dan tidak terlalu terpuruk.
Bila dibayangkan orang-orang yang memang sejak lahir tak memiliki banyak teman
mungkin akan lebih sadis lagi hidupnya?!. Semisal saja orang-orang yang tak
dapat berbicara, tak dapat mendengar, tak dapat melihat, atau orang yang bahkan
mungkin kesulitan untuk berfikir. Aku jadi penasaran dengan seseorang teman
difabel yang sudah sejak lahir tidak bisa mendengar dan berbicara apalagi tak
bisa melihat, bagaimana dia bisa mengatakan “aku cinta kamu” ketika dimensi kata
dalam pikirannya saja tak terbentuk, kosa kata semacam apa ya yang digunakan?.
Padahal ketika aku menulis cerita ini pun pikiranku berkata-kata.
Karena aku tau kata “cantik” maka aku bisa
mencintai seseorang, aku pernah mendengar orang berkata “cantik” dan aku pernah
mengatakan kata itu. Lalu bagaimana dengan mereka para difabelitas yang tak
pernah mendengar dan mengucapkan itu? Bagaimana mereka menunjukkan kata
“cantik”, mengerti wujud “cantik” dan menganggap sesuatu itu “cantik”, sedang
mereka tidak pernah, mendengarnya, mengatakannya dan atau melihatnya. Untuk
yang masih dapat melihat mungkin gampang, namun bagaimana yang tuna netra?
Alangkah tersiksanya mereka.
Atau mereka tak sesedih yang aku bayangkan
dengan kebesaran rasa syukur mereka. Aku belum memahami mereka, Aku haru pada
mereka dan bangga pada mereka. Teman-teman difabel semacam itu. Karena mungkin
merekalah yang menunjukkan arti cantik yang sebenarnya, dan merekalah yang bisa
menunjukkan bagaimana mencintai sesuatu yang bahkan belum pernah kita lihat,
tak bisa diraba dan tak bisa diterawang. Bukan uang, tapi TUHAN.
Sepulang kuliah aku lebih memilih duduk
menyendiri didepan taman fakultas lain, ia dinamai sebagai Taman Firdaus. Nama
surga tertinggi diantara tuju tingkat bangunan langit kata Al-Quran, kitab
agamaku itu. Tapi ternyata disana sama sekali tak kelihatan surganya disana.
Kenyataanya selama duduk lebih dari setengah
jam disana, aku tak mendapatkan teguran oleh seorang pun mahasiswa atau
mahasiswi di taman itu. Kulihat berlalu-lalang mereka di hadapanku dan didekat
ku pun terdapat sekumpulan mahasiswa yang sedang asik kongkow bersama. Namun seolah aku tak terlihat saja, padahal bukannya aku
tidak sedang memakai cincin DAN di jari kelingkingku? Kamu tau kan cincin itu?. Ah kalau tidak kamu
memang bukan anak yang lahir tahun 90-an.
“Halo bro.. apa kabar masih ada kelas?”
“Baik-baik bro.. eh Yog.. gimana kamu
ini kok sendirian, mana cewek mu?”
Terdengar seorang lelaki berkaos putih oblong dengan celana jean
panjang lengkap dengan lubang di lututnya. Ia baru saja
datang dan menyapa seseorang dari kerumunan mahasiswa yang kongkow tersebut.
Setelah kalimat awal pembuka itu mereka kemudian berbicara isi kongkow-kongkow itu, mulai dari
pembahasan panjang lebar tapi tak penting
sampai ke hal yang rijit dan intelek yang bahkan aku dan para setan dan malaikat pun tak paham sama sekali.
“Eh ndre.. ada cewek cantik tuh..?
“Mana.. mana?”
“Itu.. itu, kayaknya maba tuh, soalnya
gak pernah liat gua..”
“Iya tuh maba.. deketin aja yog..!”
“Eh kan gua udah punya cewek.., elu
lah mblo!”
“Ah males, gue
gak kenal juga”
“Ya kenalan bego..!”
Terdengar
percakapan dua orang pemuda yang berada dalam
kerumunan mahasiswa tadi, namun kali ini
bernada berbisik setelah melihat seorang mahasiswi yang berjalan di luar koridor
ruang kuliah
itu.
Aku justru lebih paham, saat pemuda itu
mengatakan prihal perkenalan, ketimbang isi kongkow mereka sebelumny. Nampaknya
memang masalahku adalah tentang kesulitan untuk bagaimana bisa berkenalan atau
menyapa lebih dulu kepada seseorang.
Aku cenderung memilih diam tanpa mau memulai menyapa. Dan dalam hal
ini perkenalan adalah gerbang menuju interaksi kepada siapapun. Intensitas
interaksi itu yang kemudian menentukan siapa menjadi apa atau sebagai apa dalam
hidup ini. Apakah sebagai teman atau sahabat, musuh atau kawan, atau yang
lainya.
Disamping itu tak jauh berbeda dengan perkenalan dengan seorang
wanita, seseorang yang sering mengobrol dengan wanita itu akan memiliki
kemungkinan besar untuk menjadi teman atau bahkan menjadi pacarnya,
diluar masalah diterima atau tidaknya kalimat sapaan awal
itu. Akan tetapi tak bisa dipungkiri bahwa memang perkenalan
adalah gerbang interaksi menuju penerimaan keberadaan seseorang terhadap orang
lain. Selama
gerbang itu tak di buka maka meskipun banyak orang didepan kita,
maka mereka tak ubahnya seperti sesuatu yang ada dan tak penting untuk di
ketahui.
Luar
biasanya, perenunganku menghasilkan paradigma
bahwa memang: Memulai perkenalan adalah sesuatu hal yang sulit. Kau
tak bisa menghentikan orang dijalan kemudian mengajaknya berkenalan. Hal itu
akan terasa aneh dan dianggap membahayakan. Karena
perkenalan membutuhkan waktu dan situasi yang tepat.
Kenapa? Karena setiap manusia pada
hakikatnya merasa KETAKUTAN, secara
naluriah manusia memiliki seft block,
yangmana merupakan upaya manusia itu sendiri dalam membela diri terhadap
ancaman dari luar dirinya.
Beberapa hari lalu aku dengar dari
perkuliahanku bahwa, menurut teori Darwin setiap hewan memang menganggap hewan
lain yang tak sejenis adalah ancaman atau predator, begitu pula dengan manusia.
Bukanya manusia juga terklasifikasikan, tersekat-sekat pada ruang bernama suku,
etnis, budaya, ekonomi, status, tinggi pendidikan, agama, partai,
kewarganegaraan dan sebagainya bahkan terkadang tersekat pada istilah-istilah
kecil semisal jurusan, prodi dan jomblo atau tidaknya. Sedih sekali yang ini
untukku.
Dan yang demikian inilah yang sebenarnya
membuat orang berlaku berbeda dengan orang lain yang belum ia kenali. Andaikan saja semua orang di dunia ini saling mengenal dan tak
menganggap orang lain adalah ancaman. Maka
Mungkin kerjasama, keadilan, saling toleransi dan komunikasi itu akan mudah
dimengerti. Mungkin Gus Dur akan terus hidup dan guyonan dalam realitas
kehidupan bangsanya. Karena perbedaan itu kemudian ber-nibanna ataupun sirna
terlebur dalam satu cermin hubung yang menampilak diri manusia itu sendiri
yakni hubungan kemanusiaan, atau yang disebut Gus Dur sebagai Humanisme.
Ah, aku terlalu serius saat suka merenung,
sampai-sampai lupa bahwa tugasku adalah merealisasikan renungan itu, Karena
tugasku adalah membuka gerbang interaksiku sendiri sebagai sumbangsih
terciptanya semua itu, gerbang menuju kebaikan,persaudaraan dan perdamaian di
muka bumi. Ah bumi, dataran yang luas sekali!
Aku mulai memberanikan diriu untuk datang
dan duduk di dekat mereka. Beberapa orang mulai melirik ku, salah seorang yang
paling dekat dengan ku yang baru mendaratkan pantat ini
samar-samar berkata “ehm.. iya mas..” dengan sedikit tersenyum sembari manggut-manggut, Ia
memancarkan kesopanannya padaku, atau lebih tepatnya mungkin ketidak-nyamananya. Alis dari wajah dan lirikan matanya seolah ia sedang berkata dalam
kepalanya “eh kamu siapa ya mas, kok duduk deket sini..?. Satu, lima sampai lima belas menit berlalu.
Tapi tak terjadi apa-apa padaku dan tak ku lakukan apa-apa. Yang terjadi hanya
mereka saling ngobrol satu sama lain dan aku daling ngobrol juga, akan tetapi
melalui aplikasi WhatsApp ku. Cukup Tragis.
Namun aku mencoba sok
nyaman dan menghindari berprasangka.
Ah tapi memang, tak ubahnya diriku masih seolah ancaman bagi mereka.
Masih saja tak ada kesempatan untuk mencari celah berbicara dan berkenalan. Atau aku yang mungkin terlalu cupu untuk bisa
berkenalan. Aku memang agaknya cupu.
***
Bab II bakal di publish kok gengs.. tenang aja.. tapi mungkin besok deh ..
dan ceritanya agak filosofis tentang kebutuhan hidup manusia...
oh iya jangan lupa tinggalin komen dibawah bro.. dan langganan kalo kalian pengen dapet info updatean terbaru dari blog ini.. caranya gampang isi aja email kalian di bagian berlangganan di pojok kanan atas blog ini bagi pengguna laptop.. kalo bagi pengguna smartfone gak tau ya.. cari sendiri deh ahahah soalnya aku juga belum buka juga lewat android...
Jangan lupa baca juga cerpen lainnya :
baca juga cerpen lain atau puisi-puisi di blog ini:
0 komentar:
Post a Comment
Ayo berpendapat , kasih kritik dan sarannya dong?!