SAAT TUHAN MEROKOK
Mei 2017
Malam masih telalu panjang, ku periksa jarum jam ditangan kiriku
masih menunjukkan pukul 10:15 WIB, namun udara
semakin membeku. Ah Indonesia sebagai Negara di garis katulistiwa masih belum
seberapa dinginnya dibandingkan Inggris, Hmm.. kelak aku ingin merebahkan diri
di gundukan salju di UK untuk melampiaskan kebahagiaanku ketika berhasil
memijakkan kaki ku kesana.
Bersamaan dengan itu ku bawa secangkir kopi Klangenan dari Lampung
ramuan ku sendiri yang sejurus lalu ku seduh sambil berimajinasi sebagai
seorang Barista yang andal. Yah.. ku kira tak ada
salahnya berimaginasi dan berfantasi sebagai Barista, toh dalam hidup ini yang
paling terbebas dari intimidasi dan relasi kuasa apapun dari orang lain kepada
kita adalah fikiran kita sendiri.
Mungkin orang lain dapat
memotong lidah kita, mencongkel bola mata kita, dan dapat mehancurkan gendang
telinga kita atau mengikat kaki dan tangan kita. Namun ada satu hal yang tak
dapat mereka ikat dan mereka kuasai dari
diri kita, yakni fikiran dan hati kita.
Aku jadi ingat kalimat Einstein tentang imajinasi, ia pernah
berkata “Imagination is important than Knowladge” itu karena bagi Einstein
pengetahuan dapat membawamu ke kesimpulan bahwa diantara A dan C
terdapat B, akan tetapi Imajinasi dapat membawamu dari jarak A dan C ke D, E,
Y, X dan lain sebagainya. Ia tak memiliki ruang dan waktu, yang ia butuhkan
hanyalah pandangan dunia atau World view, persepsi awal sesuatu yang
akan dibawanya menuju apa , siapa dan dimana.
Ditangan kiriku sudah terdapat dua batang Sampoerna yang siap untuk
dinyalakan, perlahan ku nyalakan sebatang dengan korek yang sebelumnya telah
kusimpan dalam saku celanaku. Kepulan asap tembakau, cengkeh dan nikotin pada kertas
paper yang kata orang Indonesia disebut papir itu selincam kemudian
mengepul diudara. Menghantarkan imajinasiku selanjutnya mengudara.
Dari tiap seruputan kopi dan kenikmatan rokok itu, kemudian
memunculkan ide-ide dalam kepalaku. Melihat secangkir kopi itu mengingatkan ku
pada perjuangan Danoedirdja Setia Budi atau yang sering disebut sebagai Dowes
Deker dalam membangun wacana-wacana diskusi demi menyadarkan kondisi
ketertindasan rakyat Proletar oleh kaum-kaum Borjuis yang superior itu di
kedai-kedai kopi era 1980-an sebagaimana ceritanya dalam buku Max Havelar, atau
mengingatkan ku pada perjuangan Hasan Al-Bana dalam menunjukkan kebenaran dan
mengajarkan nilai-nilai ajaran kebaikan agama Islam dengan cara dakwahnya di
warung-warung kopi pula, atau mencoba membaca karya-karya luar biasa dari seorang
pujangga bernama Kahlil Gibran dengan puisi-puisi cintanya yang selalu mengajarkan apa itu cinta yang sesungguhnya, bagaimana
kita memperlakukan cinta, dan sebagai seorang yang mencintai apakah yang baik
dan harusnya dilakukan, yang ternyata dibalik
keromatisannya itu ia selalu ditemani bahkan sampai
18 cangkir kopi setiap hari, media yang menghantarkan inspirasinya dalam berkarya.
Atau mengingat kembali bagaimana Negara-negara yang di era industrial kala itu pada
abat ke-17 saling berperang dan kemudian bisa melingkar
akur karena duduk dan saling berdiskusi sambil
menikmati kopi yang disediakan oleh
majelis-majelis Herbert Spencer yang terkenal dengan teori public sphere atau ruang
publiknya tersebut.
Atau justru mengenang cerita bagaimana Mbah
Wahab Hasbullah ketika mengumpulkan Para Kyai dan Ulama sepuh demi membicarakan kondisi pergerakan paham
wahabisme dan pembentukan PAN Islamisme di Timur Tengah yang berusaha
membongkar makam Nabi Muhammad SAW karena dianggap akan mengundang kesyirikan
dan kebidahan dikalangan umat islam, sekaligus mencari solusi utusan yang dapat
mewakili Indonesia dalam pembentukan Komite Hijaz untuk mempersatukan kekuatan
umat islam untuk menolak faham radikal tersebut. Maka Rokok dan kopi ada dan
bersaksi alam majelis diskusi kyai-kyai sepuh itu,
sejarah yang penting bagi terbentuknya salah satu organisasi besar di
Indonesia.
Berkerlap-kerlip gambaran tragedi yang
terbayang dari beberapa buku yang pernah ku baca itu akhirnya membuatku nyengir-nyengir sendiri melihat kedua benda sejarah dihadapan ku ini,
Kopi dan Rokok. Bagaimana tidak? Mereka
jugalah salah satu
alasan mengapa, Inggris, Portugis, Blanda, Spanyol, Jepang dan beberapa negara
lain puluhan tahun lalu datng ke Indonesia dan berusaha menguasai seciprat tanah
surga bernama Indonesia ini.
Tanah Nusantara yang dalam buku-buku teori konspirasi ada juga yang menyebutnya sebagai Atlantis yang
hilang. Ah.. terlepas benar dan tidak rasanya pantas saja kalau bumi pertiwi
ini disebut sebagai surga dengan kesuburan tanahnya, rempahnya, ladanya,
kopinya, cengkehnya, keindahan alamnya, baik lautannya, daratnya dan bahkan langitnya.
Atau juga keunikan dan keragaman bahasa,
budaya suku dan etnisnya. Ah rasanya seperti surga sungguhan yang dijanjikan Tuhan di akhirat itu. Terlepas dari semua kesemrawutan
politik, dan keadaan huru-hara perselisihan antaragama, suku dan etnis yang pernah dan masih terjadi, akan tetapi aku sangat takjub dengan bangsa dan
negara ini.
Bahkan ketika Prof Amin Abdullah pernah mengatakan “ Saya heran, sebenarnya Indonesia ini masih ada juga
merupakan Mukjizat yang luar biasa dengan segala realitas multikultural didalamnya”
ketika menjelaskan tema Agama dan Multikultural dikelas matakuliah semester V
(lima) kampus ku. Aku mengangguk mantab setuju dengan beliau dan kalimat itu
sampai hari ini tak kunjung hilang sangking mantab ku.
Tak terasa sebatang rokok itu telah habis
bersama perenunganku tentang negeri ini. Selanjutnya ku perhatikan tanda di
rokok tersebut. Tertulis satu
huruf di perbatasan filternya “A”. Kemudian aku mengalihkan perhatianku pada sebatang
rokok lain yang masih utuh. Sontak jantungku berdebar dan otak ku terasa
cemerlang, sepertinya aliran darah dibalik leherku mengalir deras keorak, dan
otak ini serasa memproduksi pengetahuan-pengetahuan lebih untuk menafsirkan apa
yang sedang ku lakukan malam ini.
Sebatang Rokok, Segelas Kopi dan Filosofi. Hm… ya..ya..
Aku jadi berfikiran bahwa sebenarnya Rokok ini
sangat filosofis adanya. Merokok adalah berusaha memahami filosofi tentang realitas penciptaan kehidupan mahluk didunia ini, di semesta raya ini. Karena itu siapa bilang merokok itu tidak boleh?, bagiku Tuhan
saja merokok. Bagaimana Tuhan merokok? Ya.. dengan menciptakan manusia,
meniupkan ruh kedalam sewujud manusia beserta tetek bengek takdir hidupnya.
Coba bayangkan saja!, bayangkan bahwa sebatang rokok itu adalah ibarat sewujud manusia. Maka itu mirip-mirip kok. Ia diciptakan menggunakan bahan-bahan semacam tembakau,
cengkeh, dan kertas rokok. Dan bukankah manusia juga diciptakan dengan bahan dasar
bernama sari tanah, yang kemudian dalam proses penciptaan selanjutnya adalah
air mani, selanjutnya menjadi daging dan kemudian ditiupkan ruh kedalamnya dan ditentukan hidupnya, rejekinya, amalnya dan matinya.
Lihat sebatang rokok ditangan si
perokok. Si perokok bebas kapan pun untuk menyalakannya,
setelah rokok itu hidup pun si perokok tau bahwa rokok tersebut akan mati. Baik
karena dihisap ataupun tanpa dihisap dan atau karena apinya menyentuh garis
batas yang ada pada rokok tersebut. Dan si perokok juga bebas untuk
mematikannya kapanpun dan dimanapun rokoknya.
Begitu pula Tuhan, ia bebas dan memiliki kewenangan
penuh atau hak prerogatif untuk menghidupkan
manusia bahkan mematikannya kapanpun itu. Walau
Dia sebenarnya telah menuliskan garis takdir hidup seorang manusia itu di dalam lauhul mahfudz-Nya, The Secret Book of Human.
Namun Dia secara penuh berhak untuk mematikan manusia itu kapan pun tanpa
mengikuti garis batas seharusnya yang ada pada buku itu. Karena Tuhan ya..
memang Tuhan yang kuasa dan tak dapat diatur oleh apapun, dan siapapun sehingga
hanya Dialah yang Maha Kuasa atas segalanya.
Dan dengan begitu kamu akan tahu bahwa sebatang rokok dapat
menggambarkan bagaimana hubungan antara kehidupan atau penciptaan, Tuhan dan
Manusia yang begitu romantis ini, seromantis orang merokok yang kemudian
mendapatkan ide untuk menciptakan suatu puisi yang dapat menyentuh hati
seseorang tanpa membelah dadanya.
Pada akhirnya ketika hal itu kita cermati maka merokok adalah kegiatan dimana kita mengenal diri kita sebagai sarana untuk
mengenal Tuhan kita. Karena ada
Hadits mengatakan untuk dapat mengenal Tuhan maka pikirkanlah ciptaannya,
pikirkanlah dirimu, dzat Manusia mu dan jangan memikirkan dzat Tuhan itu.
Aku jadi teringat bahwa banyak orang hebat
diluar sana punya filosofi yang kuat dalam membangun Integritas hidupnya dan menanamkan jiwa spiritualitas yang kuat dan mereka yakini. Muhammad Ali misalnya. Petinju hebat itu punya filosofi
hidup yang luar biasa dengan sebatang korek apinya. Ia selalu membawa korek api
tersebut kemanapun ia pergi.
Ketika ada seseorang yang menanyakan apakah ia
merokok sehingga terus membawa korek api. Maka ia menjawab:
“Aku membawa korek api ini untuk
mengingatkanku kepada Tuhan, ketika aku ingin melakukan kegiatan buruk atau
kemaksiatan, maka aku selalu membakar sebatang korek api itu dan
menyentuhkannya kepada kulit tubuh ku dan menahan panasnya sampai aku tak kuat
menahannya. Dan saat itulah aku sadar bahwa untuk menahan panasnya api dunia
saja aku tak mampu apalagi berani berbuat keburukan yang mana akan membuatku
merasakan panasnya api siksanya kelak di kehidupan selanjutnya”.
Dari cerita tersebut aku pun berusaha
membangun paradigma spiritual dalam diriku. Melalui wasilah sebatang rokok
ini, aku berusaha menghadirkan eksistensi Tuhan untuk selalu bersamaku, dan
meraih makna filosofis dari sebatang rokok bertuliskan huruf “A” ini, yang mungkin juga karena A ini merupakan
simbol “Allah” seperti yang Gus izza sadewa pernah katakan, dan apalagi namanya Sampoerna. Bukankah
memang Allah itu Sempurna?
Dengan itu, maka aku berharap dapat mengingat namanya selalu kemanapun aku pergi dan membuat ku sadar ketika akan melakukan kegiatan buruk dalam kehidupanku. Walaupun mungkin kamu tak setuju dengan orang yang
merokok. Tapi bukankah kamu akan setuju
dengan filosofi semacam ini?.
***
Baca Juga Bab-Bab sebelumnya:
0 komentar:
Post a Comment
Ayo berpendapat , kasih kritik dan sarannya dong?!