IKLAN ADSENSE IKLAN ADSENSE IN FEED Essay Pemikiran Martin Heidegger (sumber terpercaya) | Poedjakoesoema ADSENSE ARTICHLE

HOS

Essay Pemikiran Martin Heidegger
(Dari Berbagai Sumber Terpercaya)

Oleh : Heri Setiyawan

Hasil gambar untuk martin heidegger cartoon
Sumber gambar dari: https://sketchzebra.files.wordpress.com/2012/05/heidegger.jpg

Biografi Martin Heidegger
Martin Heidegger lahir pada tanggal 26 September 1889 di kota kecil Messkirch Baden, jerman. Ia adalah anak seorang pastor pada gereja katolik Santo Mortus. Martin Heidegger mempunyai pengaruh besar terhadap beberapa filosof di Eropa dan Amerika Selatan. Ia menerima gelar Doktor dalam bidang filsafat dari Universitas Freiburg dimana ia belajar dan menjadi asisten Edmund Husserl (penggagas fenomelogi). Sebelumnya ia kuliah di fakultas Teologi sampai empat semester, lau pindah filsafat di bawah bimbingan Heinrich Rickert, penganut filsafat Neo-Kantianisme yang juga banyak memberi pengaruh padanya.

Ia pernah menjabat sebagai guru besar filsafat di Universitas Masburg dan berkenalan dengan teolog protestan kenamaan Rodolf Bultmann, kemudian kembali ke Freiburg untukk menggantikan Huserl. Di Marburg ia sempat menyelesaikan karya monumental Sein und Zeit (Being and Time). Pada 1993, ia di angkat oleh gerakan Nazi menjadi rektor pertama di Universitas Freiburg. Sadr kalau dirinya dieksploitasi, setahun kemudian ia meletakkan jabatan rektornya, tapi tetap mengajar sampai pensiun 1957. Selain Sein and Zeit dan Einfuhrung in die Methaphisic, masih banyak lagi karyanya. Kebanyakan tulisannya membahas maslah seperti “What is Being”, “Why is there something rather than nothing at all?” demikian juga dengan judul-judul megenai eksistensi manusia, kegelisahan, keterasingan, dan mati.[1]


Pengaruh Fenomenologi Huserl
   Heidegger murid terbaik Husserl dan mengakui secara jujur bahwa ia dipengaruhi oleh Husserl (fenomenolog) terutama tentang metode ilmu penegtahuan dan konsep tentang struktur kesadaran (intensionalitas) danLebenswelt. Namun, Heidegger tidak menerima begitu saja konsep Husserl, karena ia menyesuaikan dengan gagasan dan kebutuhan praktisnya. Bila Husserl misalnya mencoba untuk meahami esensi melalui fenomenologinya, Heidegger lebih memfokuskan perhatianya pada permasalahan ontologis (eksistensi). Bila Husserl memilih teori, Heidegger menenkankan pada praktik. Bila Husserl menekankan pemahaman (kognisi). Heidegger lebih menekankan pada kesadaran.[2] Pendekatan yang dipakai Heidegger berbeda dengan pendekatan yang dipakai Husserl. Heidegger meradikalkan konsep Husserl tentang intensionalitas, yaitu keterarahan kesadaran. Menurut Husserl, kesadaran kita selalu terarah pada sesuatu di luarnya. Untuk kesadaran ini Husserl memaksudkannya sebagai suatu kesadaran akan sesuatu. Bagi Heidegger, kesadaran kita tidak hanya kesadaran akan sesuatu, tetapi juga kesadaran dalam/sebagai sesuatu. Maksudnya, kita tidak sekedar menyadari sesuatu, tetapi sesuatu itulah yang turut membentuk kesadaran kita. Misalnya, kita hidup di dalam dunia, maka dunia ini yang membentuk kesadaran kita. Heidegger juga menambahkan bahwa kesadaran dalam dunia tidak hanya itu, tetapi kesadaran akan dunia memiliki banyak bentuk, misalnya suasana hati yang berkaitan dengan perasaan. Kesadaran seperti ini Heidegger sebut sebagai kesadaran dalam sesuatu. Dengan kata lain, Heidegger menganggap bahwa kesadaran murni seperti yang dibayangkan Husserl tidak ada.

Pemikiran awal Heidegeer sangat dipengaruhi oleh Husserl meski di sisi lain tampak usaha Heidegger untuk keluar dari bayang-bayang gurunya. Di dalam Ontology─The hermeneutics of Facticity, Heidegger mengembangkan beberapa kemungkinan melalui evaluasi ulang fenomenologi Huserlian, yang terdapat dalam bukunya Logical Investigation, untuk membangun sebuah proyek hermeneutika baru. Heidegger mulai dengan mengevaluasi akar kata fenomena dalam bahasa Yunani. Akar kata Yunani untuk fenomena berarti “show itself from itself” dalam sebuah “distinctive mode of being-an-object”.[3] Secara lebih mendalam Heidegger mengulangi penggalian ke akar kata Yunani untuk istilah fenomenologi di dalamBeing and Time. Bagi Heidegger fenomenologi berakar pada kata phainomenon atau phainesthai, dan logos. Phainomenon berarti yang menampakkan dirinya”. Jadi fenomena berarti membuat sesuatu tampak sebagaimana adanya. Suffix-ology dari istilah phenomenology berasal dari istilah Yunani logosLogos berarti pembicaraan untuk membuat sesuatu menampak. Dengan gabungan phainesthai (phainomenon) dan logos, fenomenologi berarti membiarkan benda-benda menampakkan dirinya sebagaimana adanya dengan tanpa memaksakan kategori-kategori kita kepadanya. Pikiran tidak memberikan makna pada fenomena tetapi apa yang nampak merupakan manifestasi ontologis dari benda itu sendiri.[4]

Bagi Heidegger, Husserl dalam bukunya Logical Investigation, membatasi penyelidikannya pada objek logis, seperti konsep-konsep, proposisi-proposisi, dan sebagainya. Pusat kajiannya adalah di mana letaknya objek kajian logika dan bagaimana objek tersebut  menjadi objek bagi logika. Dengannya, objek fenomenologi dalam kajian Husserl direduksi sebagai semata-mata apa yang ditemukan dalam pengalaman sadar. Konsekuensinya, bagi Heidegger, praksis fenomenologis dipersempit menjadi kesadaran sebagai objeknya dan bahasa yang digunakan adalah bahasa matematis. Bagi Husserl bahasa tersebut dapat menjamin objektivitas penyelidikan fenomenologisnya.[5]

Di satu sisi, Heidegger memuji Husserl yang membuka kemungkinan baru dalam melihat objek sebagai ia yang memberikan dirinya yang tidak terdapat dalam pemikiran sebelum Husserl. Tetapi di sisi lain, Heidegger tidak setuju dengan Husserl yang mereduksi fenomena menjadi sekedar objek kesadaran dan mengangkat fenomenologi ke dalam keketatan bahasa matematis. Untuk dapat menggunakan metode fenomenologi tetapi tidak terjatuh pada sifat reduktif , Heidegger memutuskan untuk mengkaji ulang makna etimologis kata “fenomena” dan menjauhkan metode fenomenologi dari metode ilmu-ilmu alam dan keinginan untuk mencapai status universalitas seperti yang ingin diraih oleh Husserl.[6]

Pemikiran Martin Heidegger
Hermeneutika Faktisitas
Berangkat dari hal di atas, dalam Ontology—Hermeneutics of Facticity, Heidegger merumuskan proyek penyelidikan fenomenologis yang ia sebut sebagai “hermeneutics of facticity.” Heidegger menggunakan istilah ontologi bagi proyeknya. Ontologi dalam pemikiran Heidegger tidak dimaksudkan untuk mempelajari Ada dalam arti metafisika tradisional. Heidegger ingin kembali pada Ada yang paling asali ketika Ada belum disalahpahami. Ada Heideggerian ini hanya bisa dipahami di luar metafisika. Untuk mengkaji Ada yang paling esensial tersebut, Heidegger bertolak dari "ada" partikular yang menanyakan Ada.  Ada partikular tersebut ia namai Dasein. Jadi, seperti yang diungkapkan oleh Wei Zhang, ontologi di sini dimaksudkan sebagai kajian yang bertolak dari Dasein.


Dasein yang secara harfiah berarti “ada-di-sana” memiliki makna “a being-in-the-world, capable of being with itself (at-home-in), as well as with others (there-involved-in), for a period of temporal/spatial duration.[7] Kehadiran Dasein tidak bersifat statis dan konstan tetapi bersifat dinamis. Dasein memiliki sebuah kehidupan yang disebut Heidegger sebagai faktis (factical). Bagi Heidegger, Dasein sebagai “ada” yang faktis berarti ke-di-sana-an Dasein berada dalam temporalitas waktu tertentu. Jadi ontologi yang dimaksud Heidegger di sini adalah sebuah penyelidikan mengenai kehidupan faktis Dasein sebagai “ada” partikular dalam temporalitasnya. Penyelidikan ini ia sebut sebagai hermeneutika faktisitas. Dalam hal ini, bagi Wei Zhang, Heidegger melakukan pengubahan secara mendasar tidak hanya pada disiplin ontologi tetapi juga bidang hermeneutika dengan mengganti objek penyelidikan yang semula bersifat konstan dan statis dengan sesuatu yang bergerak dalam temporalitas.[8]
Hermeneutika faktisitas membawa konsekuensi radikal bagi hermeneutika. Pertama, faktisitasDasein menunjukkan bahwa setiap pemahaman selalu mengandaikan situasi tertentu. Pemahaman yang murni yang terlepas dari “mengada-di-dalam-dunia” tidaklah mungkin. Kedua, sebagai “ada” yang temporal dan tersituasikan, Dasein mengandung proyek proyektif. Dasein selalu sudah memproyeksikan dirinya, dan senantiasa memproyeksikan dirinya. Dasein selalu sudah memahami dirinya dan akan selalu memahami dirinya sebagai kemungkinan. Bagi Heidegger, pemahaman selalu bertolak dari pra-pemahaman yang bersifat antisipatoris, dan menjadi pra-struktur (fore-structureDasein.[9]

Ontologi Heidegger
Martin Heidegger dalam bukunya yang sangat populer, Being and Time ia menjelaskan menegaskan bahwa dasarnya dasar untuk menjeaskan “Ada” itu adalah Sein : Ada dan Zeit : Waktu. Dua struktur dasar atau kategori “Ada” ini bibahas dalam adanya manusia secara fenomonologis. Adanya manusia (Da-Sein) di dunia bila ditelaah nanti akan membawa renungan filsafat menuju sang “Ada” itu.[10]
Menurut Heidegger, satu-satunya yang ada dalam arti yang sesungguhnya adalah keberadaan manusia. Keberadaan benda-benda terpisah dengna yang lain, sedang beradanya manusia, mengambil tempat tengah-tengah dunia sekitarnya. Keberadaan manusia tersebut dasein (berada di sana, di tempat). Berada artinya menempati atau mengambil tempat. Untuk itu, manusia harus keluar dari dirinya dan berdiri di tengah-tengah segala yang berada. Dasein manusia disebut juga eksistensi.[11]
Pertanyaan tentang Auslegung, penjernihan (explication) atau interpretasi, terkait erat dengan pertanyaan tentang penafsiran (exegesis) yang dikait-kaitkan dengan pertanyaan tentang “yang ada” (being) yang terlupakan, sebagaimana yang diuraikan  dalam pengantar buku Being and Time, yang menjadi isu disini adalah persoalan makna “yang ada.” Namun dalam mengemukakan pertanyaan ini kita sudah di bimbing oleh apa yang kita cari. Semenjak awal teori pengetahuan telah diputarbalikkan oleh pengujian silang yang mendahuluinya dan menaruh perhatian pada cara bagaimana ‘yang ada’ berhadapan dengan ‘yang ada’ yang lain sebagai objek yang berhadapan dengan subjek. Bahkan seandainya Being and Time memberikan penekanan pada Dasein, yaitu ‘ke-di-sana-an’ yang menjadi hakikat kita (the being-there that we are), lebih banyak ketimbang dalam karya Heidegger selanjutnya, tetap saja Dasein ini bukanlah subjek yang memiliki objek, akan tetapi lebih merupakan sesuatu ‘yang ada’ di dalam ‘ke-ber-ada-an’ (a being within being).[12]
Dasein tidak pernah ada dan hidup hanya di masa tertentu, melainkan ia hidup dan selalu diketemukan dalam kepadatan atau kerangka waktu: yang lampau sebagai Befindilikchkeit, sekarang sebagai Ride dan yang akan datang sebagai Verstehen. Di dalam kepadatan waktu diketemukan waktu yang tidak menentu (kacau). Manusia otentik yaitu Dasein, memiliki ciri khas dalam masa lampaunya sebagai Befindilikchkeit (dalam kondisi ditemukan) atau ditemukan dalam kebebasannya. Dasein kemudian secara mendadak sadar akan beban yang sangat berat, karena ia dilahirkan di dunia. Kekinian Dasein dan Ride (ucapan bahasa) adalah artikulasi dari penemuan diri di masa lampau dan antisipasi ke masa depan. Tapi kekinian menemukan Dasein tersembunyi dalam situasi dan manusia hanya dapat mempertahankan autentisitasnya dengan melakukan aktivitas dalam kerangka waktu sekarang. Masa depan Dasein atau Verstehen (pemahaman) menjadi Dasein sadar bahwa masa depannya itu bergantung kepada dirinya sendiri, atau bukan pada nasib atau kemajuan.[13]
Dari awal sampai akhir Heidegger sangat concern dengan proses hermeneutika di mana kebenaran dapat diuangkap. Ini didekatinya dalam Being and Time sebagai fenomonologi Dasein.[14] Dalam bukunya itu Heidegger menemukan suatu bentuk akses dalam kenyataan bahwa seseorang memiliki eksistensi dirinya, yang selaras dengan adanya pemahaman tertentu tentang apa sebenarnya keberadaan itu. Ia bukanlah pemahaman yang dibentuk, namun secara historis terbentuk, terakumulasi dalam pemahaman perjumpaan fenomena yang sebenarnya. Dengan begitu, keberadaan tentu saja dapat dipertanyakan melalui suatu analisis bagaimana kemunculan itu terjadi. Ontologi harus menjadi fenomenologi. Ontologi harus beralih kepada proses pemahaman dan interpretasi melalui apa sesuatu itu muncul. Ia harus dapat membuka minat dan arah eksistensi manusia, ia harus dapat memperlihatkan struktur keberadaan di dunia secara jelas.[15]
“Makna metodologis dari deskripsi fenomenologis adalah interpretasi (Auslegung). Logos fenomenologiDasein memiliki karakter hermeneuien, struktur keberadaan dirinya sendiri dan makna otentik keberadaan yang ditentukan dalam pemahaman keberadaan dibuat dikenal terhadap Dasein. Fenomenologi Daseinadalah hermeneutika dalam makna kata yang orisinal yang menunjuk persoalan interpretasi.”[16]
Dalam satu langkah ini hermeneutika menjadi “interpretasi keberadaan Dasein.” Secara filosofis ia membentuk arah struktur dasar posibilitas bagi Dasein. Ia merupakan “analisis eksistensialitas eksisten” yaitu kemungkinan otentik dari hal yang berada untuk menjadi ada. Heidegger menjelaskan, hermeneutika adalah fungsi penjelasan fundamental di mana Dasein membuat hakikat keberadaan menjadi diketahui bagi dirinya sendiri. Hermeneutika sebagai metodologi interpretasi bagi kemanusiaan merupakan suatu bentuk derivatif yang terletak dan tumbuh pada fungsi ontologis utama interpretasi. Ia merupakan ontologi regional yang harus didasarkan pada ontologi yang lebih fundamental.[17]
Menurut Heidegger, dapat dikatakan bahwa Hidup pada hakikatnya dapat dicapai hanya dalam Dasein.Ontologi Dasein membawa ke dalam ilmu interpretasi “hermeneutik” Dasein. Dalam analisa fenomenologis mengenai Dasein sebagai Ada-dari-umat-manusia, Heidegger tidak hanya memperdalam analisa epistemologis Dilthey dan Husserl, namun juga menyediakan sebuah kritik mengenai tubuh yang menegaskan asumsi bahwa mereka berbagi dengan seluruh tradisi filosofis Barat yang diidentifikasikan Heidegger sebagai “metafisika.[18]
                Sekalipun Heidegger masih tidak mengidentikkan antara manusia yang menginterpretasi atau berpikir dan yang diintrepretasi atau yang dipikirkan, tetapi ia tidak bisa dipisahkan sama sekali. Intensionalitas Husserl tidak dibuang sama sekali, tapi digunakan dalam pengertian yang lain, yaitu bahwa faktisitaslah yang menjadi anutan kesadaran. Bukan kita yang menunjuk benda, tapi benda itu sendiri yang menunjukkan dirinya. Interpretasi manusia dibaca dalam pengertian ontologis karena ia merupakan hakekat manusia itu sendiri.
Berpikir (menginterpretasi) adalah Dasein itu sendiri. Berpikir, dalam pengertian Heidegger, bukan menggambarkan, bukan memvisualisasikan sesuatu di depan mata, bukan merefleksi, melainkan bertanya dan meminta keterangan, mendengarkan dengan penuh rasa hormat suara Ada, menunggu dengan bertanya dan mendengarkan Ada. Ketika manusia berpikir lalu memahami, sesungguhnya ia tidak memenjarakan objek pemahaman. Pemahaman dipahami bukan sebagai sesuatu yang harus dimiliki, melainkan sebagai bentuk atau elemen keberadaan di dunia yang berkelanjutan. Ia bukan suatu entitas di dunia, tetapi sebagai struktur dalam keberadaan yang memungkinkan terjadinya pengalaman pemahaman aktual pada level empirik. Pemahaman adalah basis bagi keseluruhan interpretasi; ia sama aslinya dengan keberadaan seseorang dan ia ada dalam setiap prilaku interpretasi.[19]




[1] Dr. Zubaedi, M.Ag., M.Pd,.dkk, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes Hingga Revolusi Sains ala Khomas Khun, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2010), Hal.152-153
[2] Lubis, FILSAFAT ILMU; KLASIK HINGGA KONTEMPORER, (Rajawali Pers, Jakarta, 2014), hal 188-189
[3] Martin Heidegger  1999, Ontology—The Hermeneutics of Facticity, diterjemahkan oleh John van Buren, (Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press), hlm. 53.
[4] Palmer, Richard E. 1969, Hermeneutic: Interpretation Theory In Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer,( Evanston: Northwestern University Press), hlm. 127-128
[5] Wei Zhang, Heidegger, Rorty, and the Eastern Thinkers: A Hermeneutics of Cross-Cultural understanding, (New York: State of University Press), hlm. 91
[6] Ibid. hlm 92
[7] Ibid. hlm 94
[8] Ibid. hlm 95-96
[9] Trisno Sutanto 2000, “Historisitas Pemahaman” dalam Majalah Filsafat Driyarkara(Tahun XXV, No. 2),hlm. 25-26
[10] Edi Mulyono, dkk, Belajar Hermeneutika, Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, (Jogjakarta: IRCiSoD, cet. II, 2013), hal. 63.
[11] Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum dari Metodologi sampai Teofilosofis, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), hal. 334.
[12] Paul Ricoeur, Hermeneutika Ilmu Sosial, (Bantul: Kreasi Wacana, cet. IV, 2012), hal. 72.
[13] Edi Mulyono, dkk, Belajar Hermeneutika, Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, (Jogjakarta: IRCiSoD, cet. II, 2013), hal. 71.
[14] Richard E. Palmer, Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. II, 2005, hal. 163.
[15] Richard E. Palmer, Hermeneutika, Teori Baru …, hal. 148.
[16] Richard E. Palmer, Hermeneutika, Teori Baru …, hal. 149.
[17] Ibid…, hlm. 149
[18] Josef Bleicher, Hermeneutika Kontemporer, Hermeneutika sebagai Metode, Filsafat, dan Kritik, Yogyakarta: Fajar Pustaka, cet. III, 2007, hal. 140
[19]Sadiman Ahmad. 2007. HEIDEGGER; Hermeneutika Ontologi Eksistensial Heidegger. Melalui situs https://saidiman.com/2007/06/08/hermeneutika-ontologi-eksistensial-heidegger/. Diakses pada 09 November 2017

Advertisement

0 komentar:

Post a Comment

Ayo berpendapat , kasih kritik dan sarannya dong?!

 
Top